BEDAH BUKU: PAJANG Pergolakan Spiritual, Politik, dan Budaya karya Martin Moentadhim S.M.

BEDAH BUKU:
PAJANG Pergolakan Spiritual, Politik, dan Budaya
(RUMAH BUDAYA BETHARI SRI)
Sabtu, 29 Januari 2011



PAJANG MERUPAKAN sejarah yang memiliki peran penting dalam perkembangan sejarah Jawa. Namun, hingga kini, Kerajaan Pajang seperti tertutup sesuatu yang sangat luar biasa. Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang “gelap’. Tengok saja bagaimana kisah ini seharusnya:

”Ki Ageng Pengging punya dua putra: Ki Kebo Kenanga dan Ki Kebo Kanigara. Ki Kebo Kenanga—sebagai penerus ayahnya menjadi adipati di Pengging—telah memeluk agama Islam ajaran Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang). Ajaran Islam ini tidak disukai oleh kelompok Wali Sanga yang mendukung kepemimpinan Demak. Aliran itu dianggap sebagai aliran sesat, yang dikenal dengan aliran jumbuhing kawula gusti.”

”Dalam ajaran mistik Jawa, kata-kata jumbuhing kawula gusti (menyatunya hamba dan tuan) melukiskan tujuan tertinggi dalam hidup manusia, yaitu tercapainya kesatuan yang sesungguhnya (manunggal) dengan Tuhan. Uraian yang lebih rumit lagi karena kata kawula dan gusti menunjukkan status manusia yang paling rendah dan paling tinggi di dalam masyarakat.”

”Dalam pemikiran orang Jawa, kesatuan kawula-gusti dilambangkan sebagai keris. Kedua bagian keris: sarungnya (warangka) dan matanya (curiga) diberi penafsiran yang sangat bersifat mistik. Sarung disamakan dengan manusia dan matanya disamakan dengan Tuhan. Jadi melukiskan hubungan yang mutlak ada, yang satu tidak sempurna tanpa kehadiran yang lain.”

”Penyerangan dari Demak di daerah pesisir ke Pengging di daerah pedalaman ini merupakan kelanjutan proses pergerakan islamisasi dari para wali di daerah pesisir utara Jawa. Perlu dipahami bahwa masyarakat pedalaman pada saat itu masih kental dengan kepercayaan agama Hindunya atau masih ’kafir’.”

Bagaimana anda menyikapi salah satu ulasan ini? Benarkah seperti itu?

Kami, YAYASAN KERTAGAMA Mengundan Bapak/Ibu/Saudra/Saudari untuk hadir dalam acara Bedah Buku: PAJANG Pergolakan Spiritual, Politik, dan Budaya karya Martin Moentadhim S.M.

Dengan menghadirkan:

PENULIS/NARASUMBER:
Martin Muntadhim S.M

PEMBICARA:
Prapto Yuwono
Pembicara: Pengamat Sejarah Pajang—Sastra Jawa UI)

Harto Yuwono
Pengamat Sejarah Pajang—Sejarah UI)

MODERATOR
Handoko F Zainsam

Pada

Hari/Tanggal:
Sabtu, 29 Januari 29 Januari 2011

Waktu:
10.00 – 13.00

Tempat :
Rumah Budaya Bethari Sri
Jln. Ampera Raya No.11
Jakarta Selatan (Depan MEDCO)

Atas kehadirannya, Kami mengucapkan Terimakasih. Semoga sumbangsih pemikiran kita semua, mampu memberikan masukan sejarah dan pemikiran masa lalu untuk menyongsong masa sepan Indonesia.


Sumber: (Catatan Handoko F Zainsam)  
              (http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150142412845465)

» Selengkapnya...

LOMBA MENULIS FLASH FICTION TENTANG PENGAMEN

Para Pengamen atau musisi jalanan sering dipandang dengan sebelah mata. Padahal ada banyak alasan dan polemik tentang keberadaan mereka. Hadirnya novel 'Pengamen Cinta (plus bonus CD PARAMETEUR Band)' yang baru diterbitkan Leutika Prio ini adalah salah satu upaya untuk membuat mata kita lebih terbuka. Bahwa anak-anak jalanan dan para pengamen juga memiliki kelebihan, bakat-bakat terpendam dan cita-cita. Buktinya, sebut saja Iwan Fals atau Klantink. Mereka juga berasal dari jalanan bukan?

Punya pengalaman atau kisah tentang pengamen? Atau mau coba berimajinasi menjadi pengamen jalanan? Mari tuangkan ke dalam tulisan Flash Fiction dengan tema kisah cinta para pengamen. Bukan hanya untuk mengasah kreatifitas, tapi dengan mengikuti lomba ini, kita juga bisa sekalian beramal, plus mendapat hadiah dan menjadi salah satu penulis antologi Flash Fiction yang akan diterbitkan Leutika Prio. Baca persyaratan dan ketentuannya.

Syarat Peserta:
  • Terdaftar sebagai anggota Grup PARAMETEUR Band, Halaman Ceko dan Halaman Leutika Publisher Fans. Yang belum gabung, silahkan join dulu. Caranya klik:





Ketentuan Tulisan:
  • Tema tulisan: kisah tentang  cinta, persahabatan atau keluarga Musisi Jalanan
  • Panjang tulisan antara 300-500 kata
  • Memasang cover novel 'Pengamen Cinta' yang diterbitkan Leutika Prio pada materi lomba ini
  • Posting /copy paste materi lomba, lalu tag minimal 25 orang
  • Kirim tulisan (sebagai attachment/tidak menaruhnya di badan email) ke cekospy@yahoo.com   (sertakan nama, lengkap alamat, no telpon yang bisa dihubungi, dan nomor rekening) dengan SUBJECT: LOMBA FF PENGAMEN CINTA paling lambat tanggal 31 Januari 2011 pukul 11:59. 
  • Masing-masing peserta boleh mengirim maksimal 2 Flash Fiction

Hadiah:
  • Paket Buku dari Leutika Publisher (untuk 1 orang pemenang)
  • Uang tunai senilai Rp.150.000 (untuk 1 orang pemenang)
  • Semua FF yang masuk, baik menang ataupun tidak, akan dipertimbangkan untuk dibukukan oleh Penerbit Leutika Prio dan royalti buku akan disumbangkan ke Yayasan sosial, panti-panti atau anak-anak jalanan.

Pengumuman Pemenang Tanggal 13 Februari 2011

Juri:
  • Ceko (Penulis Novel Pengamen Cinta)
  • Redaksi Leutika Prio

Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=495385663345

» Selengkapnya...

KEDAI BUKU ERA FACEBOOK

www.visikata.com

Oleh: Damhuri Muhammad 

(versi panjang dari esai yang tersiar di majalah DEWI edisi  Desember 2010, dengan tajuk "fiksi era maya")


Di penghujung September 2010, komunitas sastra “Lerengmedini” menggelar bedah buku kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik (2009), karya Bamby Cahyadi. Tidak seperti diskusi buku pada lazimnya, komunitas yang bermarkas di Boja, Kendal (Jateng) itu menyelenggarakannya secara teleconference-webcam dengan fasilitas yahoo messenger (YM) dan box chat  facebook, yang dilayar-lebarkan. Para penyuka sastra di Boja leluasa bertanya-jawab dengan Bamby Cahyadi yang berada di Jakarta. Begitu juga dengan para penanggap yang berdomisili di Swiss, Jerman, dan Hongkong. Modus baru apresiasi sastra di jaman internet, yang tak terbayangkan sebelumnya.

Bedah buku ala komunitas “Lerengmedini”  terbilang unik, hingga buku TUU itu beroleh perhatian, setidaknya dari sisi kerja pengarangnya mengembangkan jaringan ke kantong-kantong pembaca sastra di daerah. Usia kepengarangan Bamby terbilang muda di ranah cerpen Indonesia, tapi ketelatenan self-marketing-nya membuat ia cepat melesat, hingga karya-karyanya berhamburan di sejumlah media nasional. Cerpenis yang berprofesi sebagai store manager restoran fastfood itu serius memperjuangkan karyanya. Sejak TUU terbit, sudah belasan kali ia menggelar diskusi, tak hanya di komunitas-komunitas sastra ibukota, tapi juga di Malang, Yogyakarta, dan Tasikmalaya. Semuanya ia upayakan sendiri, tanpa dukungan penerbit. Hasilnya menggembirakan. Bukan saja dari segi pencitraannya sebagai cerpenis, tapi juga dari sisi penjualan yang di atas rata-rata. Bamby tak segan menawarkan bukunya sendiri, dengan iming-iming tanda-tangan pengarang, tentunya. Setiap hari ia menyiarkan informasi seputar TUU di dinding facebook-nya. Saking dekatnya ia dengan pembaca, fans Bamby tak keberatan mengganti foto profil mereka dengan sampul TUU.

Mengamati trend ini, penerbit-penerbit yang concern di buku-buku sastra akan berpikir dua kali untuk meloloskan naskah dari pengarang yang sudah punya nama. Mengingat prospek penjualan buku cerpen terbilang payah, nama besar bisa saja diabaikan. Sebab, pasca-turun cetak, mereka hanya duduk-diam, menunggu kiriman royalti. Paling banter mereka hanya muncul saat launching, itupun kalau ada. Selepas itu, promosi bulat-bulat diserahkan kepada penerbit. Maka, memilih naskah karya cerpenis muda seperti Bamby akan lebih menjanjikan.

Di sepanjang tahun 2010, ada sejumlah buku sastra jenis prosa yang terpajang di rak-rak toko buku, dengan tema dan gagasan yang beragam, meski apresiasi dari pembaca belum bisa dikatakan memadai. Sebutlah misalnya,  Klop (kumcer), karya Putu Wijaya, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (kumcer) karya Agus Noor, Rahasia Selma (kumcer) karya Linda Christanty, Balada Ching-Ching (kumcer) karya Maggie Tiojakiu, Mantra Maira,  (kumcer), karya Sofie Dewayani, Ciuman di Bawah Hujan (novel) karya Lan Fang, Arumdalu (novel) karya Junaedi Setiyono, Manjali dan Cakrabirawa (novel karya) Ayu Utami, dan  Dwilogi Padang Bulan (novel) karya Andrea Hirata.

Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia termasuk buku yang banyak dibincang media dan forum-forum diskusi. Selain cerpenis prolifik, seniman multi-talenta ini juga rajin melakukan self-marketing seperti Bamby. Ia punya weblog yang selalu menginformasikan kabar terkini perihal karya-karyanya. Belakangan, Agus Noor juga menggagas genre fiksi-mini di twitter, dan beroleh sambutan hangat. Selain cerpen, ia menulis skenario program TV, naskah teater, dan kerap menyutradarai performing art. Daya tarik SBPID terasa pada eksperimentasi berkisah yang seolah tiada habis-habis, dan mungkin tidak ditemukan pada buku cerpen lain. SBPID masuk dalam daftar 5 Besar Khatulistiwa Literary Award 2010, penghargaan sastra yang disebut-sebut paling gemuk hadiahnya (100 juta). Buku itu bersaing dengan Rahasia Selma (2010), karya Linda Christanty, Kekasih Marionette (2009) karya Dewi Ria Utari, 9 dari Nadira (2009) karya Leila. S Chudori, dan  Klop (2010) karya Putu Wijaya. Berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini nominee kategori prosa didominasi kumpulan cerpen. Data hasil penjurian yang dilakukan oleh orang-orang yang expert di bidang sastra itu, setidaknya dapat memperkuat posisi tawar buku kumpulan cerpen yang kerap dipandang sebelah mata, lantaran susah dijual.
                        
Mantra Maira (Sofie Dewayani) dapat dikatakan sebagai buku sastra yang menawarkan warna baru. Mantra Maira terbuhul dengan tema masyarakat urban (asal Indonesia) di AS. Sofie Dewayani yang saat ini tinggal di Urbana, AS, membincang problem identitas keindonesiaan dari perspektif perantau Indonesia di negeri Paman Sam. Tokoh-tokoh rekaannya sedemikian rapuh, goyah, dan tak sanggup bertahan sebagai orang Indonesia di Amerika, lalu bermunculan sejumlah siasat untuk menyembunyikan identitas tanah asal. Garapan semacam ini mengingatkan kita pada karya-karya Hanif Khureisi─novelis Inggris asal Pakistan─seperti  Buddha of  Suburbia maupun Midnight All Day. Namun, Mantra Maira dingin-dingin saja, entah karena temanya terlalu berat, penulisnya sibuk menyelesaikan disertasi doktornya, atau penerbitnya yang setengah hati merancang strategi promosi. 

Selain itu muncul pula corak lain dari cerpenis muda Benny Arnas lewat bukunya Bulan Celurit Api (2010). Tampil dengan warna lokal yang kental, dari sayap etnis Melayu Lubuklinggau, Sumsel. Mendekonstruksi kemapanan adat, mencairkan kebekuan nilai yang taken for granted, dan memaklumatkan bahwa kearifan lokal yang diagung-agungkan itu bukan “benda”, melainkan “peristiwa”, yang terus berubah, dan karena itu selalu  ditunda tafsir tunggalnya. Benny juga memperlihatkan militansi kepengarangan sebagaimana Bamby. Awal Oktober 2010 bukunya turun-cetak, tapi sejak September 2010 ia sudah melakukan direct selling via facebook. Hasilnya  spektakuler untuk ukuran buku sastra, 100 exp BCA  telah terjual, tiga minggu sebelum buku terbit. Pemesanan langsung berdatangan dari Jakarta, Aceh, Makassar, Kalimatan, Yogyakarta, Padang, Medan.  Kabar terkini yang saya terima, Bulan Celurit  Api, bakal cetak-ulang, padahal launching-nya baru akan digelar akhir November mendatang. Ini pun kabar baik bagi sastra Indonesia, khususnya genre cerpen. Mungkin itu sebabnya, sejumlah penerbit yang sebelumnya concern di buku jenis fiksi-islami, kini melirik cerpen sastra. FLP Publishing misalnya, tahun ini menerbitkan Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu (Ragdi F Daye) setelah Cari Aku di  Canti (2008) karya Wa Ode Wulan Ratna, dan Pengantin Subuh (2009), karya Zelfemi Wimra. 

Buku sastra jenis novel agak melemah, baik dari segi produktifitas, aspek kebaruan tema, pencapaian literer, maupun grafik penjualan. Ciuman di Bawah Hujan (Lan Fang) misalnya, meski sebelumnya telah tersiar sebagai Cerbung di sebuah harian nasional, belum terdengar gaungnya. Begitu pula dengan Arumdalu  (Junaedi Setiyono), novel berlatar sejarah laskar Dipanegaran yang bagian pertamanya (Glonggong) menjadi salah satu pemenang sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta, belum berhasil menangguk perhatian pembaca.  Kalaupun ada yang tampak menonjol, itu tidak jauh dari novel jenis “how to”, yang lebih mengedepankan aspek didaktik ketimbang pencapaian estetik. Negeri 5 Menara karya A. Fuadi misalnya, meskipun diluncurkan pada 2009, popularitasnya terus menanjak hingga kini. Penjualannya tentu tak disangsikan, tapi secara estetik, novel ini sukar untuk menjadi bagian dari proses kreatif sastra, yang tegak di atas fondasi estetika. N5M  seolah muncul sebagai Laskar Pelangi dengan wajah baru. Lebih mengejar kekuatan motivasi ketimbang kedalaman gagasan estetik. Motto “man jadda wajada”─terminologi khas pondok modern Gontor, latar tempatan novel itu─yang digembar-gemborkan pengarangnya, membuat ia tampak sebagai motivator ketimbang sastrawan. Lantaran sambutan yang begitu semarak terhadap serial “how to” berkedok karya sastra itu, tengoklah novel-novel bersemangat serupa yang menyesak di toko buku. Para pengekor menangguk laba, sementara unsur-unsur artistik sastra terdistorsi. Buku laku memang tidak berbanding lurus dengan buku bermutu.

Lain halnya dengan dwilogi Padang Bulan, novel terkini Andrea Hirata. Meski masih bergelimang mimpi, harapan, dan obsesi masa depan, novel itu menawarkan kesadaran literer yang berkedalaman. Dengan teknik pengisahan yang dibumbui satirisme khas Melayu, Andrea berupaya memancangkan jejak pikiran, ketimbang sekadar jejak tindakan.  Enong, Ikal, dan Detektif M. Nur adalah karakter orang-orang yang terjangkit gejala keterpelantingan eksistensial, mengingatkan kita pada Eliza, Rose, dan Tao Chien, tokoh-tokoh marjinal dalam The Daughter of Fortune (1999) karya Isabel Allende. Lantaran sukses Laskar Pelangi yang penjualannya nyaris mencapai 1 juta eks, menawarkan corak baru dalam proses kreatif tentulah peluang yang terbuka. Andrea tidak akan sesibuk Bamby dan Benny, dalam merebut perhatian pembaca. Tapi, bukankah setiap pengarang patut memperjuangkan setiap karyanya?

Sumber: Catatan Damhuri Muhammad di facebook
(http://www.facebook.com/note.php?note_id=487696341462)

» Selengkapnya...

MENGGARAMI LAUT KRITIK SASTRA

Maman S Mahayana
Pikiran Rakyat, Khazanah, 28 November 2010
Maman S Mahayana*

Kesalahpahaman atas kritik sastra Indonesia telah membentuk sejarahnya sendiri. Bagaimanapun, latar belakang pendidikan dan tingkat apresiasi setiap pembaca, tidaklah seragam. Maka, simpang-siur pemikiran tentang kritik sastra Indonesia menggelinding, membentangkan perjalanannya yang panjang. Tanggapan atas buku Darah Daging Sastra Indonesia (2010), Damhuri Muhammad, adalah satu contoh. Semangat untuk menghasilkan kritik sastra khas Indonesia tahun 1980-an, juga kesalahpahaman lain lagi. Contoh lain tentu masih dapat kita deretkan. Sejak istilah kritik sastra dilontarkan Sutan Takdir Alisjahbana (Pandji Poestaka, edisi 5, Th. X, Juli 1932), kesalahpahaman itu kerap terjadi hingga menjelma salah kaprah yang lalu diperlakukan seolah-olah sebagai kebenaran.

Esai “Seolah-olah Kritik Sastra” (Pikiran Rakyat, 3 Oktober 2010), substansinya adalah coba menekankan pentingnya keadilan dalam memperlakukan karya. Diingatkan pula perlunya berhati-hati dalam melontarkan istilah dan cermat memanfaatkan sumber, agar tidak terjadi sesat nalar dan salah data. Tetapi apa yang terjadi? Muncul beberapa pandangan yang malah makin menjauhkan panggang dari api. Jadi, kesimpangsiuran gagasan itu menegaskan lagi terjadinya kesalahkaprahan dalam memaknai—memahami—substansi kritik sastra.

Sejak awalnya dan dalam perkembangannya sampai kini, semangat hakiki kritik sastra adalah keadilan yang dapat diterjemahkan lebih luas sebagai proporsional, holistik, menyeluruh, dan objektif. Kritikus hendaklah berperilaku arif ketika menanggapi karya apa pun. Maka, ketika satu istilah diperlakukan untuk merontokkan keseluruhan, jelas hal itu dapat mencederai rasa keadilan. Problem itu pula yang dalam Metode Ganzheit hendak ditekankan, yaitu menempatkan setiap elemen sebagai penyatuan totalitas.
     
Pembaca memang punya kebebasan untuk menanggapi dengan cara apa pun. Tetapi, hak mutlak pembaca itu, patut dibarengi kesadaran untuk bersikap arif dan cerdas yang justru mesti menjadi semangat dasar kritik(us) sastra. Sikap serampangan dalam menulis kritik sastra, tak hanya menunjukkan kerdilnya kecerdasan, tetapi juga cermin kebelummatangan wawasan dan kebeliaan memasuki wilayah yang sesungguhnya baru diketahui kulitnya belaka. Sebagai mualaf tentu saja belajar berhati-hati jauh lebih terpuji. Dalam konteks itulah, pemahaman kesejarahan adalah hal yang mustahak dan penting. Jika ada yang mengingatkan kesalahan elementer itu, sepatutnya pula ditangggapi bukan dengan cara mengulangi kembali ketersesatannya, melainkan dengan memperlakukan catatan masa lalu secara kritis untuk mampu memilah, mana sumber terpercaya, mana fakta yang masih patut dipertanyakan, seperti kisah pertentangan H.B. Jassin dan Chairil Anwar itu. Jadi, eloklah menambah satu atau dua buku pengantar ilmu sejarah. Sebab, tugas kritikus bukan sekadar sebagai Sherlock Holmes yang mesti tetap waspada dan kritis, tetapi juga akurat dalam memilih data agar tak terkecoh oleh fakta yang fiktif atau oleh fiksi yang dimitoskan jadi fakta.
     
Ada tiga faktor utama yang menggelindingkan ketersesatan pemahaman atas kritik sastra Indonesia selama ini: (1) lalai membaca sejarah, (2) salah kaprah memahami hakikat dan tujuan kritik sastra, (3) keliru memahami kategori kritik sastra.
     
Bermula Maret 1932 saat majalah Pandji Poestaka membuka rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan.” Dari sana, kritik sastra teoretis berupa konsep-konsep puisi dengan model estetikanya, melengkapi praktik kritik sastra yang berupa pembahasan sejumlah puisi. Model kritik sastra itu lalu merebak semarak ketika STA hengkang dari majalah itu dan mengelola Poedjangga Baroe. Bahkan, estetika pantun pun muncul di sana sebagai penolakan atas pandangan peneliti Barat yang memperlakukannya dengan estetika puisi Eropa. Esai-esai kritik sastra yang semarak di berbagai media massa tahun 1950-an (baca: Akar Melayu: Ideologi dalam Sastra, 2001; 2010), menunjukkan panorama adanya benang merah pada model esai kritik sastra STA. Tahun 1970-an, meski ada sejumlah suratkabar dan majalah masih memainkan peranan penting, wibawanya di dunia akademik, mulai direbut kritik aliran Rawamangun.Tetapi apa yang terjadi selepas pengaruh Aliran Rawamangun mulai pudar? Seolah-olah terjadi krisis kritik sastra. Padahal, Aliran Rawamangun membangun paradigmanya di lingkungan akademi. Lalu muncul kerinduan pada H.B. Jassin dengan model esai—kritiknya. Jassin sendiri sebenarnya bagian dari kelompok Rawamangun itu. Jelas, ada dua jalur perkembangan: (1) kritik akademis dengan segala kurikulumnya sebagai produk institusi sastra, dan (2) kritik umum yang ditanamkan STA dan dikembangkan Jassin yang medianya majalah dan suratkabar. Begitulah catatan sejarah tentang jalur perkembangan kritik sastra kita. Maka, tak perlulah repot-repot menderetkan berbagai kutipan tentang esai. Bukankah judul buku Jassin yang empat jilid itu tegas menyebut: kritik dan esai.
     
Keinginan menjadi kritikus (sastra) adalah hak segenap manusia. Pendidikan formal lewat institusi hanya sebuah cara. Cara lain dengan latar belakang keilmuan atau wawasan yang juga lain, tentu saja sangat diizinkan—dianjurkan. Semakin ramai orang memasuki bidang ini, semakin bagus pula pengaruhnya bagi perkembangan sastra. Bagaimanapun, institusi sastra tidaklah dimaksudkan semata-mata sebagai lembaga pencetak kritikus (sastra). Bukankah H.B. Jassin sendiri masuk fakultas sastra, justru setelah ia dikenal luas sebagai kritikus dan karyanya bertebaran. Begitu juga doktor (Honoris Causa) yang disandangnya, bukan lantaran capaian akademik, melainkan prestasinya sebagai penggiat sastra. Labelnya sebagai kritikus, bahkan “Paus Sastra” bukan pula klaim dirinya, melainkan penghargaan masyarakat atas kematangan dan kearifannya dalam memperlakukan dunia sastra.
     
Jadi, menulis kritik sastra dapat dilakukan siapa pun. Latar belakang pendidikan adalah alat bantu. Skripsi—disertasi atau esai—resensi hakikatnya sama, yaitu apresiasi atas karya, meski ekornya jatuh pada kebertanggungjawaban ilmiah (kritik akademis) dan kemengaliran (kritik umum).
     
Sejak Plato dan Aristoteles menganalogikan posisi kritikus sebagai hakim yang mesti adil melakukan timbangan (: evaluasi), konsep evaluasi itu terus menggelinding, berkembang biak melahirkan konsep dan istilah baru dengan segala cabang rantingnya. Meski begitu, hakikat dan tujuan kritik sastra tidak bergeser dari semangat awal: melakukan timbangan yang bijaksana dan sekaligus mengungkap kekayaan teks (sastra). Maka, munculnya berbagai pendekatan, semangatnya tidak lain mengungkap kekayaan teks. Itulah hakikat dan tujuan kritik sastra sebagai bentuk apresiasi pada teks. Jadi, resensi, endorsement, atau apa pun namanya, yang dikedepankan adalah semangat apresiatif, dan bukan telaah kritis model skripsi. Itulah yang juga dilakukan Jassin dalam sejumlah kritik—esainya.
     
Kritik sastra yang memperkarakan konsep, metode, aliran, pendekatan atau segala yang berkaitan dengan teori, membentangkan paradigmanya sendiri. Itulah yang disebut kritik sastra teoretis (theoretical criticism). Manakala segala konsep itu coba diaplikasikan pada karya sastra, disebutlah kritik sastra konkret, kritik praktik (practical criticism) atau kritik terapan (applied criticism). Pandangan-pandangan Roman Jakobson, Cleanth Brooks, Roland Barthes, atau STA, Jassin (Aliran Rawamangun), Goenawan Mohamad—Arief Budiman (Metode Ganzheit), atau Ariel Heryanto (Sastra Kontekstual) adalah kategori kritik sastra teoretis. Tentu saja perbincangannya berbeda dengan kritik sastra konkret, meski tak terhindarkan: kerap bersinggungan.
     
Nah, yang terjadi dalam polemik ini –dan sebelum itu sudah berulang kali terjadi—adalah pencampuradukan pengertian antara kritik sastra teoretis dan model kritik praktik. Itulah yang saya maksud dengan sesat nalar. Oleh sebab itu, meski masih mualaf, penting artinya memahami dulu kategori kritik sastra. Maka, klaim diri sebagai pujangga dengan bergincu di balik rangkaian istilah yang terkesan canggih, hakikatnya tak beda dengan menggarami laut.

*Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI. Kini bertugas sebagai Dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea

*http://www.facebook.com/note.php?note_id=460201237211

» Selengkapnya...

SAJAK-SAJAK ZAMAN DINASTI T’ANG

Tu Fu atau Du Fu
Wilson Tjandinagara dan Abdul Hadi W. M.


Han Hong

            MEMBALAS SAJAK CHENG JIN”

            Pohon bambu tinggi berayun-ayun
                        dialah yang paling duluan menyambut angin barat,
            sekujur kota lama yang senyap
                        ditaburi sinar bulan pucat,
            seekor angsa liar
                        seolah terbang menuju gugusan bimasakti
            malam ini, suara-suara orang mencuci kain
                        terdengar di antara ribuan penghuni kota

            kuingat waktunya
                        kala itu malam sudah larut
            namun karena merenungi sajakmu dalam hati
                        aku tak bisa tidur untuk beristirahat
            Ah,
            baru saja kubaca
                        bait-bait sajakmu yang indah
            sedangkan hari sudah terang
                        burung gagak memekik parau di luar jendela


Liu Shen Xu

            TANPA JUDUL

            Jalan pegunungan tinggi mendaki
                        berakhir di pucuk awan
            O pemandangan musim semi
                        panjangnya laik anak sungai bening
            kerap saja
                        ada guguran bunga jatuh melayang-layang
            kemudian bersama air sungai mengalir
                        membawa bau semerbak ke tampat jauh.

            Pintu tak terkunci itu
                        menghadap jalan setapak pegunungan
            pohon yangliu yang naung rimbun
                        masing-masing menghiasi ruang baca di pondok
            walaupun langit siang hari panas benderang
                        di sini semua begitu tenteram
            cahaya indah dan kesunyian
                        menerobos naungan pohon, menyinari bajuku.


Dai Shu Lun

             DI SEBUAH  LOSMEN DENGAN KAWAN LAMA

            Datang musim gugur
                        bulan bersinar, bulat penuh
            O, pemandangan malam di ibukota
                        membangkitkan gejolak jiwa
            tak terduga aku masih dapat
            mengadakan majlis paguyuban orang-orang dari selatan Yangse
            pun sukar dipercaya
                        apakah pertemuan ini hanya dalam mimpi.

            Ranting pohon berayun ditiup angin
                        mengejutkan burung murai dalam kegelapan,
            rerumputan musim gugur sarat tetesan embun
                        melindungi serangga musim gugur yang nyaring bernyanyi
            perasaan pengembara
                        selalu menjunjung tinggi minum tuak hingga mabuk,
            ingin sekali aku menahan kalian minum sepuas-puasnya
                        namun seketika cemas mendengar suara lonceng tua
                                    mengabarkan fajar telah menyingsing

 
Sikong Shu

PERPISAHAN DENGAN HAN SHEN DI POS YUN YANG GUAN
            SETELAH MENGINAP SEMALAM

            Sejak berpisah denganmu
                        di Jianghai
            beberapa tahun terakhir ini
                        kita dipisah gunung dan sungai,
            kini tiba-tiba bertemu
                        malah curiga ini hanya mimpi,
            O.
            semua merasa pilu
                        setelah masing-masing menanyakan usia

            Lampu satu-satunya
                        menyinari hujan di tengah kesunyian di luar jendela,
            hutan rumpun bambu membisu
                        diam-diam mengambangkan gugusan awan,
            yang amat disesalkan ialah –
                        esok kita akan berpisah, engkau utara aku selatan,
            gelas diangkat demi perpisahan
                        kita muliakan panjangnya usia persahabatan kita.



Sikong Shu

            GEMBIRA SEPUPU LU LUN  DATANG MENGINAP

            Malam begitu lengang
                        tak seorang pun tetangga di sekitar rumah ini
            kupilih tinggal di belantara liar
                        semata karena miskin,
            dalam terpaan angin dan kucuran hujan
                        daun-daun menguning di pepohonan,
            satu-satunya lampu
                        menerangi aku si tua bangka beruban.

            O, tentang aku
                        aku hanya sendiri, begitu lama terperosok
            kau yang sering mengunjungiku
                        membuat aku malu, pun terharu atas kepedulianmu.
            O,
            bemang jika dua penyair saling bersahabat
                        boleh dikata sudah dinasibkan untuk bertemu
            apalagi
                        kita masih saudara sepupu –
                        bagai dua keluarga: Cai dan Yang!



Sikong Shu

            MENGANTAR ORANG KEMBALI KE UTARA SETELAH
            PEMBERONTAKAN DITUMPAS

            Tahun-tahun yang morat-marit
                        kita ke selatan bersama
            kini negeri tenang
                        namun kau malah kembali ke utara sendirian
            mengungsi ke kampung orang
                        uban telah lama tumbuh di kepala,
            ketika tiba di kampung halaman
            menjumpai yang tak berubah hanya deretan gunung hijau itu.
            pagi hari, bersama bulan
                        melewati reruntuhan bangunan dan kubu tua,
            bintang bertaburan di langit,
                        kau menumpang tidur di Guguan yang tandus.
            O,
                        unggas di musim dingin
                                    dan rumput liar layu,
            semua tempat yang dilalui
                        menemani rona wajahnya yang selalu murung.



Bai Juyi

            RUMPUT

            Betapa rimbun
                        kau rumput liar  di tanah purba ini,
            setiap satu tahun berlalu
                        bergiliran antara layu dan subur menghijau
            api yang membara di padang belantara
                        tak mungkin membakarmu sampai habis
            kala angin musim semi bertiup
                        kau berjuang keras untuk tumbuh kembali
            Ya rumput wangi jauh di penghujung bumi
                        kau terus tumbuh  memenuhi lorong tua depan mata
            hijau tak bertepi di bawah sinar matahari,
                        mendekatkan benteng tua yang terhantar sunyi di sana
                                    rapuh dan hampir runtuh.
            demi aku kau mau bertungkus lumus
                        mengantar seorang kawan pergi
            rumput musim semi begitu rimbun
                        seakan diharu biru kepiluan perpisahan.


Du Mu

            MENGINAP DALAM PERJALANAN

            Di rumah penginapan
                        tak seorang kawan karib,
            tafakur memusatkan pikiran
                        adalah derita diliputi kesunyian tanpa tepi,
            sendiri menatap lampu dingin
                        lantas ingat perkara lama beberapa waktu yang lalu
            jerit angsa liar yang terpisah dari kawannya
                        membangunkan aku yang dalam tidur pun masih waswas

            Dalam tidur mimpi berjalan sampai kampung halaman
                        ketika kembali fajar sudah tiba
            sepucuk surat dari rumah
                        sudah diterima lebih setahun lalu

            O,
            baiknya pulang
            menatap sinar bulan, betapa indah
            terbungkus kabut di sungai Changjiang
            sedangkan perahu kecil pengail ikan
            ditambatkan tepat di depan rumahku


Xu Hun

            AWAL MUSIM GUGUR

             Di musim gugur yang  panjang
                        mengalun lembut suara Jinse, merdu di telinga
            O, angin barat tak henti-hentinya bertiup
                        mempermainkan daun-daun songlo hijau tua
            sisa kunang-kunang hinggap ==
                        di atas  titik embun rumputan,
            kawanan angsa liar terbang subuh
                        melintasi gugusan bimasakti tiada tepi

            Pohon-pohon menjulang tinggi
                        ketika memandangnya di pagi hari, ranting dan daunnya
masih rimbun
            punggung-punggung gunung di kejauhan
                        di bawah langit terang, kelihatan lebih banyak
            O,
            di Huainan ini
                        selembar daun layu, rontok diam-diam
            aku pun teringat –
                        gelombang air pasang danau Dongtong Hu!



Li Shangyin

             TONGGERET

            Sesungguhnya bertengger di pucuk pohon tinggi
                        sukar bisa kenyang
            mengerik pun
                        sia-sia menyampaikan keluh ketidakadilan
            hingga menjelang fajar
                        suaranya pun kian lemah dan jarang, seolah tersekat,
            paadahal pohon tua hijau itu
                        masih tetap tak terharu.
            jabatan kecil  lagi sepele
                        seakan tangkai buah persik meluncur di air,
            tanah air dan kampung halaman serba terlantar
                        ditumbuhi pula semak-semak berduri.
            bikin repot
                        berulang kali kuingatkan kau
            aku pun akan seperti kau
                        sekuat tenaga menjunjung tinggi keluhuran tak tercemar
                        rela miskin dan sayu wajah anggota keluarga








Li Shangyin

                        BUNGA GUGUR

                        Para tamu paviliun di atas
                                    telah pulang semua
                        kini
                        di taman kecil
                                    beterbangan bunga-bunga, tak tentu arah
                        kelopak  bertaburan
                                    di jalan berliku
                        dari jauh
                                    pandang mata melepas sisa cahaya matahari senja,
                        Karena kasihan bunga gugur
                                    tak tega menyapunya
                        tak mudah pula mengharap musim semi
                                    tak mengira pula akan kembali
                        O,
                        hatiku ini
                        telah sepenuhnya
                                    bersama bunga gugur
                        yang didapat
                        hanya –
                                    airmata membasahi baju.



Terjemahan Wilson Tjandinagara dan Abdul Hadi W. M.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=496628648872

» Selengkapnya...

AMPLOP MERAH MUDA UNTUK PAK POS (Ulasan)


Oleh : iLenk Rembulan


Coba, sekarang siapa lagi yang mau pakai jasa pak pos? Untuk mengucapkan selamat lebaran saja, boro-boro pakai kartu yang bisa disimpan selamanya, paling cuma lewat sms. Kalau sekarang yang diantar lewat pos cuma surat tagihan listrik, PAM atau kartu kredit, brosur-brosur, wah, mana ada lagi yang menyambut pak pos dengan suka cita? (hal. 10 –cerpen : Amplop merah muda untuk pak pos-)

Cerita tentang surat cinta yang dikirim melalui Pak Pos, merupakan tema yang diangkat dalam cerita pendek dalam kumpulan cerpen dengan judul  Amplop Merah Muda untuk Pak Pos. Penulis ingin menggugah kembali masa ketika belum ada email apalagi sms yang sudah merebut pola pengiriman surat.

Ada sekitar 6 cerpen yang terdapat dalam kumpulan buku ini. Tema tentang Cinta namun diceritakan dengan  beragam cara, dan terkadang dengan judul yang membuat pikiran pembaca mengerutkan alis, seperti pada cerpen Bolehkah aku tidur di ranjangmu?

Judul cerpen yang menggoda

Pengarang berhasil membuat judul cerpen menggoda dan menggelitik. Tafsiran semula dengan membaca judul dan setelah dibaca isinya , ternyata berlawanan.  Judul dan isi ternyata sama menariknya.

Dalam cerpen Amplop Merah Muda untuk Pak Pos misalnya. Semula, imajinasi saya adalah sebuah amplop, berisi surat cinta yang benar-benar untuk pak pos. Namun, setelah membacanya, ternyata sebuah amplop, yang berisi surat cinta yang telah dikirim lama, oleh seorang kekasih pada jaman Belanda masih bercokol di bumi Indonesia.

Surat tersebut, dikirim dari sebuah kapal Belanda, oleh seorang noni belanda untuk kekasihnya yang orang Indonesia. Yang menjadi misteri adalah, surat tersebut tertanggal tahun 1941, pada saat ketika Jepang datang, dimana terjadi eksodus besar-besaran orang Belanda, untuk keluar menyelamatkan diri dari kekejaman Tentara Jepan,g yang mulai masuk di bumi Indonesia.

Surat terkirim beberapa kali pada jaman sekarang, ditujukan kepada alamat sebuah rumah yang ternyata telah lama kosong.

Cerita ini juga menggambarkan, bagaimana rasa tanggung jawab seorang tukang pos, terhadap surat yang harus tetap di antar, walau ternyata kemudian rumah itu tak ada penghuninya.

Semula, pak pos yang diperankan oleh seorang pemuda, yang mempunyai orang tua, dahulunya sebagai tukang pos. Dia, sarjana hukum, sambil menanti panggilan pekerjaan, maka disarankan oleh bapaknya, untuk menjadi tukang pos. Dirasakan pekerjaan yang kelihatannya tidak mentereng di jaman sekarang dengan arus teknologi yang semakin canggih. Dan ternyata dalam menjalani pekerjaan tersebut, dia menemukan suatu kejadian yang menarik, sekaligus misteri.

Setelah beberapa kali, amplop tersebut tak ada yang membuka, maka dia memberanikan diri, menjebol bis surat pada alamat yang dituju, dan membuka lembaran amplop merah muda tersebut, dan ternyata isinya surat untuk kekasih.

Lain lagi , dengan cerpen  Bolehkah , aku tidur di ranjangmu? Membaca judulnya saja, pikiran pembaca sudah berlari pada hal yang negative. Setelah menikmatinya, cerpen yang diramu dengan gaya jenaka ini, ternyata menceritakan, dua sahabat cewek dan cowok yang akhirnya sang cowok jatuh cinta dan melamar ceweknya. Namun, sang cewek menawarkan suatu perjanjian, bahwa dia tidak mau tidur seranjang setelah menikah. Setelah perkawinan terjadi,   ternyata ada “sesuatu”, yang kemudian tumbuh ,secara perlahan-lahan adanya saling membutuhkan , terutama bila malam tiba. Dari pembicaraan biasa, karena awalnya mereka bersahabat , sampai pada suatu kebutuhan akan teman,  yang bukan dalam hal ini hanya sex saja.

Cerita mengalir begitu saja, tanpa ada bumbu sex yang vulgar, seperti judulnya yang menggoda, namun memberikan semacam pelajaran, bahwa cinta datang secara perlahan , tapi pasti . Terutama, bila kita sudah sering kali bertemu, berkumpul. Tresno jalaran soko ngglibet – cinta datang karena sering bertemu-

Kita bersedih kalau ada kesusahan. Sementara kematian itu bukanlah suatu kesusahan (hal. 73) dalam cerpen berjudul MATI. Cerita tentang kematian,  yang cukup singkat diceritakan oleh pengarangnya. Sang tokoh ditinggal Ibunya meninggal,  dan kemudian disadarkan oleh anaknya , tentang hakekat mati itu apa.

Pungkasan, cerpen yang cukup panjang Cintaku pada Januari, dengan mengambil background musik, adanya lirik lagu misalnya  Feeling Good – Nina Simone, ikut menghias alur cerita dalam cerpen ini. Kisah cinta antara pianis dan manager artis, diramu beserta konflik yang dibangun adalah tema umum.Tetapi, yang menarik, latar belakang sang tokoh, pembaca disuguhkan, bagaimana bekerja sebagai pemusik dan manager artis tersebut.

Cinta, ringan dan renyah

Dengan tema cinta , pengarang sepertinya ,tidak mau membebani pembaca, dengan terlalu berat, namun sebagai bacaan , untuk menghibur dalam suasana santai, misalnya menunggu pacar datang di terminal bis atau bandara Udara, bolehlah kita menikmati bacaan ini dan cukup membantu rasa sepi.

Ada sedikit koreksi dari beberapa salah cetak, mungkin editor dalam hal ini bisa lebih jeli lagi, untuk mengedit adanya salah ketik.

Bogor, 5 Januari 2011

Judul buku  : Amplop Merah Muda Untuk Pak Pos
Penulis     : Kanti W Janis
Penerbit    : Optimist, 2010
ISBN        : 978-602-97878-0-1

http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150137252070185

» Selengkapnya...

"MERAPI GUGAT"

KOMENTAR PENGAMAT DAN KRITIKUS SASTRA TENTANG BUKU INI

Professor Harry Aveling, PhD DCA, Indonesianis, Pengamat Sastra Indonesia, di Sydney:
"Walaupun bahasa tidak bisa dipakai untuk menguasai alam raya ciptaan Yang Mahakuasa, manusia memang harus memakai bahasa dalam percobaannya untuk memahami dan merespon pada pengalamannya dalam dunia yang tetap bergolak. Letupan Gunung Merapi selama beberapa minggu tahun 2010 sangat mengerikan, namun demikian perasaan persaudaran yang timbul di masyarakat seIndonesia juga sangat jelas dan mengharukan. Dalam buku ini yang tertulis oleh 13 penyair dalam bahasa Indonesia, Jawa dan Sunda, dibuktikan, 'Kita adalah Merapi'."

Maman S Mahayana, Dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul:
"Puisi adalah potret zaman. Ia tak sekadar representasi gebalau rasa yang paling individual tentang sikap, empati—simpati, atau bahkan antipati, tetapi juga sebagai pewarta peristiwa kemanusiaan. Selalu, tragedi kemanusiaan di belahan dunia mana pun akan menyedot rasa bela sungkawa. Lalu kepedulian pun berdatangan dalam berbagai bentuk ekspresinya. Antologi puisi ini—dengan segala sentuhan etnisitasnya—, telah menjadi saksi bicara, betapa suara penyair tiada pernah berhenti mengalirkan semangat hendak berbagi. Itulah tanggung jawab penyair sebagai makhluk manusia. Di situlah puisi menjadi suara kemanusiaan zamannya."

Cunong N. Suraja, pengajar Intercultural Communication di FKIP-UIKA Bogor:
"Tigabelas penyair menggugat Merapi. Merapi yang memberkahi tigabelas penyair yang cukup jam terbangnya. Tak heran jika mereka menangkap makna Merapi dalam warna lokal yang kental serta kearifan budaya yang tandas dengan bonus catatan kaki bahasa daerah. Nama Sutirman Eka Ardhana, Kurniawan Junaedhie, Boedi Ismanto dan Susy Ayu untuk menyebut nama penyair dengan dapur magma yang mampu melawan kebringasan Merapi yang terasa lebih dahsyat dari tahun-tahun masa kecil saya. Sungguh buku kumpulan yang mewakili perhelatan Merapi di era Facebook yang ceria dan merdeka."

Hudan Hidayat, Sastrawan, dan Pengamat sastra, di Jakarta:
“.…seperti ke-13 rekan penyair ini, membuatkan semacam tugu peringatan akan kejadian alam – meletusnya gunung merapi. Seolah kini sastra itu menunjukkan dirinya, bahwa dia bukanlah semata bahasa yang dipakai untuk sekedar semata kesenangan diri. Tapi bahasa yang melibatkan juga kepada soal soal di masyarakat….”

Suminto A Sayoeti, Guru Besar FBS UNY, Yogyakarta:
"Dalam puisi , para penyair merumahkan pengalaman-pengalaman kemanusiaannya. maka, bahasa puisi pun tidak semata informatif, tetapi bahkan evokatif: mampu menggugah kesadaran kemanusiaan kita. Puisi yang dihimpun dalam antologi ini, untuk sekian kalinya, membuktikan hal itu. tidak hanya pewartaan yg dikapsulkan dalam jagat puitik pilihan para penyair, tetapi juga refleksi-refleksi sublim agar kita tetap menjadi manusia."

Faruk HT, kritikus sastra dan staf pengajar di Fak. Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta:
"Kumpulan puisi ini menjadi salah satu representasi penting dari pemaknaan orang Jawa atau orang Indonesia yang ikut bersentuhan dengan Merapi mengenai pergeseran pemaknaan mengenai gunung tersebut. Ada yang melihat gunung sekedar representasi dari Tuhan, sebuah gagasan yang sama sekali tidak ada dalam Astabrata, ada yang memahami gunung bukan sebagai kekuasaan, melainkan justru hamba atau kaula yang “menggugat” seperti yang tercantum bahkan pada judul buku ini, ada juga yang melihat gunung sebagai kekuatan yang menakutkan, “kejam”, menimbulkan penderitaan."

13 Penyair:

Anisa Afzal
Arieyoko
Boedi Ismanto SA
Gampang Prawoto
Hadi Lempe
Kurniawan Junaedhie
Nia Samsihono
Nunung Susanti
Ratu Ayu Neni Putra
Rini Intama
Soekamto
Susy Ayu
Sutirman Eka Ardhana


Perancang sampul: Aant S Kawisar
Tebal: 157 hal +

http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150117633304343

» Selengkapnya...

INFO LOMBA RUMAH KATA

Rumah Kata Gelar Lomba Baca Puisi

Dunia sastra di Medan akhir-akhir ini sedang bergairah. Ditandai dengan banyaknya penulis sastra yang terus bermunculan di koran-koran terbitan lokal maupun nasional. Selain itu, menjamurnya kelompok penulis dan lembaga sastra, ikut menciptakan iklim yang baik bagi pertumbuhan sastra di daerah ini.

Kondisi itu mesti disambut positif dan diapresiasi sebagai dukungan terhadap perkembangan kesusasteraan di daerah ini.  Hal inilah yang mendasari Lembaga Seni Rumah Kata yang berencana menggelar Lomba Baca Puisi, 15 Januari 2011 mendatang.

Rumah Kata sendiri merupakan kelompok seni yang baru didirikan oleh 4 sastrawan yang sudah cukup memiliki nama sampai ke tingkat nasional, yakni Nasib TS (Ketua) M. Yunus Rangkuti (W. Ketua) Idris Siregar (Sekretaris) S. Ratman Suras (Bendahara). 


Acara ini nantinya akan digelar di Sanggar Tari Taman Budaya Sumatera Utara, Jl. Perintis Kemerdekaan No 33 Medan. Adapun persyaratan peserta adalah berusia minimal 14 tahun, mengisi formulir  dan membayar uang pendaftaran sejumlah Rp 20 ribu per orang.

Puisi yang akan dibacakan disediakan langsung oleh panitia. Setiap peserta yang mendaftar langsung mendapat cinderamata berupa kalender 2011 dari panitia. Kepada MedanBisnis, M. Yunus Rangkuti menjelaskan, panitia akan memilih 6 orang pemenang yang akan mendapatkan hadiah berupa uang, piala dan sertifikat.

Untuk juara I-III memperoleh uang yakni Rp 600 ribu, Rp 400 ribu dan Rp 200 ribu. Sedangkan 3 pemenang harapan memperoleh uang masing-masing Rp 100 ribu. Pendaftaran akan ditutup pada 13 Januari serta teknikal meeting dilaksanakan 14 Januari. Bagi Anda yang berminat silahkan menghubungi M. Yunus Rangkuti (081396936505) .
(jones gultom)

(mirror link)

» Selengkapnya...

SEKOTAK MATAHARI

oleh Ezy Ichikuro

sumber: (http://www.facebook.com/senandungpena)

Deru angin musim gugur telah pergi
menjauh dan tergantikan musim dingin
gerimis pagi hari tak jua reda
menyunting sang kalbu, merenggut kembali memoriku..

kemanakah aku berteduh ?
menghindari tetesan salju
kutukan rindu membuatku terjatuh

mengapa tatapku kosong?
jika kau berhenti memayakanku
akupun tak tahu, kenapa daun-daun berguguran?
kala kau melepas mahkotamu

gerimis mulai kering, bosan melihatku terdiam
membusuk dalam lamunan

ku tahu kau telah pergi...
namun aku tak pernah rela menggantimu
dengan musim dingin....
ataupun sekotak matahari.

» Selengkapnya...

JERIT HAMPA

oleh Ezy Ichikuro
sumber: http://www.facebook.com/topic.php?uid=131619446880197&topic=262

Rintihan takdir menertawaiku
Memikul pilu menjinjing ragu

Deras kobaran sang pekat menambah Nikmat sang waktu
Namun, ku anggapItu kan berlalu
Apa yang ku punya ?

Diantara belaian angin ……..
Aliran darah …….
Dan jiwa-jiwa yang terdampar

Apa yang ku rasa ?
Terjerat makna …
Atau merindu haru…

» Selengkapnya...

REMUK TAK BERTUAH

oleh Ezy Ichikuro
sumber: http://www.facebook.com/topic.php?uid=131619446880197&topic=235

Menatap jauh kepakan angan
Kian meninggi tak terkendali
Membawa lembaran halus
Beraromakan bunga kehampaan

Gemuruh angin hinggap silih berganti
Bagai petir meremas rongga dada
Sentuhan paraunya menyambar kalbu
Tambah terasing memekik hati

Lihatlah aku
Semakin rapuh akibat gemuruh
Dalam balutan luka tak kentara
Teriaku mengaduh

Semarak goresan haripun kian condong
Tuntaskan air mata
Menyuling kenangan lalu sibuk
Hempaskan wewangian
Menatap jauh kepakan angan
Kian meninggi tak terkendali
Membawa lembaran halus
Beraromakan bunga kehampaan

Gemuruh angin hinggap silih berganti
Bagai petir meremas rongga dada
Sentuhan paraunya menyambar kalbu
Tambah terasing memekik hati

Lihatlah aku
Semakin rapuh akibat gemuruh
Dalam balutan luka tak kentara
Teriaku mengaduh

Semarak goresan haripun kian condong
Tuntaskan air mata
Menyuling kenangan lalu sibuk
Hempaskan wewangian

» Selengkapnya...

M A J A S

Majas adalah gaya bahasa adalah bahasa kiasan adalah figurative language. Mudahnya seperti itu. Kok begitu? Ya, begitulah, karena dengan alasan yang kuat, gaya bahasa dan bahasa kiasan bisa dibedakan. Sekali lagi, untuk kemudahan saja, maka mereka kita anggap sama.


» Selengkapnya...

Masukan Alamat Emailmu Di Sini:

Pengikut