KEDAI BUKU ERA FACEBOOK

www.visikata.com

Oleh: Damhuri Muhammad 

(versi panjang dari esai yang tersiar di majalah DEWI edisi  Desember 2010, dengan tajuk "fiksi era maya")


Di penghujung September 2010, komunitas sastra “Lerengmedini” menggelar bedah buku kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik (2009), karya Bamby Cahyadi. Tidak seperti diskusi buku pada lazimnya, komunitas yang bermarkas di Boja, Kendal (Jateng) itu menyelenggarakannya secara teleconference-webcam dengan fasilitas yahoo messenger (YM) dan box chat  facebook, yang dilayar-lebarkan. Para penyuka sastra di Boja leluasa bertanya-jawab dengan Bamby Cahyadi yang berada di Jakarta. Begitu juga dengan para penanggap yang berdomisili di Swiss, Jerman, dan Hongkong. Modus baru apresiasi sastra di jaman internet, yang tak terbayangkan sebelumnya.

Bedah buku ala komunitas “Lerengmedini”  terbilang unik, hingga buku TUU itu beroleh perhatian, setidaknya dari sisi kerja pengarangnya mengembangkan jaringan ke kantong-kantong pembaca sastra di daerah. Usia kepengarangan Bamby terbilang muda di ranah cerpen Indonesia, tapi ketelatenan self-marketing-nya membuat ia cepat melesat, hingga karya-karyanya berhamburan di sejumlah media nasional. Cerpenis yang berprofesi sebagai store manager restoran fastfood itu serius memperjuangkan karyanya. Sejak TUU terbit, sudah belasan kali ia menggelar diskusi, tak hanya di komunitas-komunitas sastra ibukota, tapi juga di Malang, Yogyakarta, dan Tasikmalaya. Semuanya ia upayakan sendiri, tanpa dukungan penerbit. Hasilnya menggembirakan. Bukan saja dari segi pencitraannya sebagai cerpenis, tapi juga dari sisi penjualan yang di atas rata-rata. Bamby tak segan menawarkan bukunya sendiri, dengan iming-iming tanda-tangan pengarang, tentunya. Setiap hari ia menyiarkan informasi seputar TUU di dinding facebook-nya. Saking dekatnya ia dengan pembaca, fans Bamby tak keberatan mengganti foto profil mereka dengan sampul TUU.

Mengamati trend ini, penerbit-penerbit yang concern di buku-buku sastra akan berpikir dua kali untuk meloloskan naskah dari pengarang yang sudah punya nama. Mengingat prospek penjualan buku cerpen terbilang payah, nama besar bisa saja diabaikan. Sebab, pasca-turun cetak, mereka hanya duduk-diam, menunggu kiriman royalti. Paling banter mereka hanya muncul saat launching, itupun kalau ada. Selepas itu, promosi bulat-bulat diserahkan kepada penerbit. Maka, memilih naskah karya cerpenis muda seperti Bamby akan lebih menjanjikan.

Di sepanjang tahun 2010, ada sejumlah buku sastra jenis prosa yang terpajang di rak-rak toko buku, dengan tema dan gagasan yang beragam, meski apresiasi dari pembaca belum bisa dikatakan memadai. Sebutlah misalnya,  Klop (kumcer), karya Putu Wijaya, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (kumcer) karya Agus Noor, Rahasia Selma (kumcer) karya Linda Christanty, Balada Ching-Ching (kumcer) karya Maggie Tiojakiu, Mantra Maira,  (kumcer), karya Sofie Dewayani, Ciuman di Bawah Hujan (novel) karya Lan Fang, Arumdalu (novel) karya Junaedi Setiyono, Manjali dan Cakrabirawa (novel karya) Ayu Utami, dan  Dwilogi Padang Bulan (novel) karya Andrea Hirata.

Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia termasuk buku yang banyak dibincang media dan forum-forum diskusi. Selain cerpenis prolifik, seniman multi-talenta ini juga rajin melakukan self-marketing seperti Bamby. Ia punya weblog yang selalu menginformasikan kabar terkini perihal karya-karyanya. Belakangan, Agus Noor juga menggagas genre fiksi-mini di twitter, dan beroleh sambutan hangat. Selain cerpen, ia menulis skenario program TV, naskah teater, dan kerap menyutradarai performing art. Daya tarik SBPID terasa pada eksperimentasi berkisah yang seolah tiada habis-habis, dan mungkin tidak ditemukan pada buku cerpen lain. SBPID masuk dalam daftar 5 Besar Khatulistiwa Literary Award 2010, penghargaan sastra yang disebut-sebut paling gemuk hadiahnya (100 juta). Buku itu bersaing dengan Rahasia Selma (2010), karya Linda Christanty, Kekasih Marionette (2009) karya Dewi Ria Utari, 9 dari Nadira (2009) karya Leila. S Chudori, dan  Klop (2010) karya Putu Wijaya. Berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini nominee kategori prosa didominasi kumpulan cerpen. Data hasil penjurian yang dilakukan oleh orang-orang yang expert di bidang sastra itu, setidaknya dapat memperkuat posisi tawar buku kumpulan cerpen yang kerap dipandang sebelah mata, lantaran susah dijual.
                        
Mantra Maira (Sofie Dewayani) dapat dikatakan sebagai buku sastra yang menawarkan warna baru. Mantra Maira terbuhul dengan tema masyarakat urban (asal Indonesia) di AS. Sofie Dewayani yang saat ini tinggal di Urbana, AS, membincang problem identitas keindonesiaan dari perspektif perantau Indonesia di negeri Paman Sam. Tokoh-tokoh rekaannya sedemikian rapuh, goyah, dan tak sanggup bertahan sebagai orang Indonesia di Amerika, lalu bermunculan sejumlah siasat untuk menyembunyikan identitas tanah asal. Garapan semacam ini mengingatkan kita pada karya-karya Hanif Khureisi─novelis Inggris asal Pakistan─seperti  Buddha of  Suburbia maupun Midnight All Day. Namun, Mantra Maira dingin-dingin saja, entah karena temanya terlalu berat, penulisnya sibuk menyelesaikan disertasi doktornya, atau penerbitnya yang setengah hati merancang strategi promosi. 

Selain itu muncul pula corak lain dari cerpenis muda Benny Arnas lewat bukunya Bulan Celurit Api (2010). Tampil dengan warna lokal yang kental, dari sayap etnis Melayu Lubuklinggau, Sumsel. Mendekonstruksi kemapanan adat, mencairkan kebekuan nilai yang taken for granted, dan memaklumatkan bahwa kearifan lokal yang diagung-agungkan itu bukan “benda”, melainkan “peristiwa”, yang terus berubah, dan karena itu selalu  ditunda tafsir tunggalnya. Benny juga memperlihatkan militansi kepengarangan sebagaimana Bamby. Awal Oktober 2010 bukunya turun-cetak, tapi sejak September 2010 ia sudah melakukan direct selling via facebook. Hasilnya  spektakuler untuk ukuran buku sastra, 100 exp BCA  telah terjual, tiga minggu sebelum buku terbit. Pemesanan langsung berdatangan dari Jakarta, Aceh, Makassar, Kalimatan, Yogyakarta, Padang, Medan.  Kabar terkini yang saya terima, Bulan Celurit  Api, bakal cetak-ulang, padahal launching-nya baru akan digelar akhir November mendatang. Ini pun kabar baik bagi sastra Indonesia, khususnya genre cerpen. Mungkin itu sebabnya, sejumlah penerbit yang sebelumnya concern di buku jenis fiksi-islami, kini melirik cerpen sastra. FLP Publishing misalnya, tahun ini menerbitkan Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu (Ragdi F Daye) setelah Cari Aku di  Canti (2008) karya Wa Ode Wulan Ratna, dan Pengantin Subuh (2009), karya Zelfemi Wimra. 

Buku sastra jenis novel agak melemah, baik dari segi produktifitas, aspek kebaruan tema, pencapaian literer, maupun grafik penjualan. Ciuman di Bawah Hujan (Lan Fang) misalnya, meski sebelumnya telah tersiar sebagai Cerbung di sebuah harian nasional, belum terdengar gaungnya. Begitu pula dengan Arumdalu  (Junaedi Setiyono), novel berlatar sejarah laskar Dipanegaran yang bagian pertamanya (Glonggong) menjadi salah satu pemenang sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta, belum berhasil menangguk perhatian pembaca.  Kalaupun ada yang tampak menonjol, itu tidak jauh dari novel jenis “how to”, yang lebih mengedepankan aspek didaktik ketimbang pencapaian estetik. Negeri 5 Menara karya A. Fuadi misalnya, meskipun diluncurkan pada 2009, popularitasnya terus menanjak hingga kini. Penjualannya tentu tak disangsikan, tapi secara estetik, novel ini sukar untuk menjadi bagian dari proses kreatif sastra, yang tegak di atas fondasi estetika. N5M  seolah muncul sebagai Laskar Pelangi dengan wajah baru. Lebih mengejar kekuatan motivasi ketimbang kedalaman gagasan estetik. Motto “man jadda wajada”─terminologi khas pondok modern Gontor, latar tempatan novel itu─yang digembar-gemborkan pengarangnya, membuat ia tampak sebagai motivator ketimbang sastrawan. Lantaran sambutan yang begitu semarak terhadap serial “how to” berkedok karya sastra itu, tengoklah novel-novel bersemangat serupa yang menyesak di toko buku. Para pengekor menangguk laba, sementara unsur-unsur artistik sastra terdistorsi. Buku laku memang tidak berbanding lurus dengan buku bermutu.

Lain halnya dengan dwilogi Padang Bulan, novel terkini Andrea Hirata. Meski masih bergelimang mimpi, harapan, dan obsesi masa depan, novel itu menawarkan kesadaran literer yang berkedalaman. Dengan teknik pengisahan yang dibumbui satirisme khas Melayu, Andrea berupaya memancangkan jejak pikiran, ketimbang sekadar jejak tindakan.  Enong, Ikal, dan Detektif M. Nur adalah karakter orang-orang yang terjangkit gejala keterpelantingan eksistensial, mengingatkan kita pada Eliza, Rose, dan Tao Chien, tokoh-tokoh marjinal dalam The Daughter of Fortune (1999) karya Isabel Allende. Lantaran sukses Laskar Pelangi yang penjualannya nyaris mencapai 1 juta eks, menawarkan corak baru dalam proses kreatif tentulah peluang yang terbuka. Andrea tidak akan sesibuk Bamby dan Benny, dalam merebut perhatian pembaca. Tapi, bukankah setiap pengarang patut memperjuangkan setiap karyanya?

Sumber: Catatan Damhuri Muhammad di facebook
(http://www.facebook.com/note.php?note_id=487696341462)

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Alamat Emailmu Di Sini:

Pengikut