GETARAN-GETARAN LEMBUT YANG KURASAKAN
Kota memang sangat menarik, tetapi sentuhan kesunyian di pedesaan selalu akrab menyambutku setelah berada di riuhnya kota dan mendengar derit kereta api yang menyebalkan. Betapa hening dan sentosa segala yang terjadi pada alam, baik penghancuran, perbaikan, maupun perubahannya! Tak terdengar suara dentam palu, gergaji, atau suara batu yang sengaja dipecah. Yang ada hanya suara musik yang berdesir di rumputan ketika dedaunan gugur dan buah-buah lembut jatuh dihembus angin dari cabangnya sepanjang hari. Dalam diam semua menunduk, layu, dan tertumpah ke bumi, hingga penciptaan ulang bisa dimulai kembali. Segalanya lelap tertidur, sementara arsitek-arsitek waktu menawarkan jasa-sepinya di tempat lain. Keheningan yang sama pun meraja ketika secara serentak bumi menghadirkan ciptaan barunya. Dengan lembut, lautan rumput, lumut, dan bunga-bunga meruak, menebar, memenuhi bumi. Tirai dedaunan menyelimuti dahan-dahan pohon. Pohon-pohon besar mempersiapkan diri di jantungnya yang kokoh untuk menerima kembali kehadiran burung-burung yang mendiami kamar-kamar lapangnya yang menghadap ke selatan dan ke barat. Ah, tiada tempat yang terlalu hina untuk merumahkan makhluk-makhluk ceria ini. Aliran sungai yang melintasi padang rumput mendobrak belenggu bekunya dengan nada-nada yang bergelora, gemercik, dan mengalir bebas. Dan semuanya itu terangkai dalam waktu kurang dari dua bulan, mengikuti irama orkestra alam, di tengah wangi alam yang sejuk segar.
Ribuan suara lembut dari bumi benar-benar sampai padaku: desir rerumputan, gerak selembut sutra dari dedaunan, dengung serangga, gumam lebah madu, getaran lembut sayap burung seusai mandi, dan getaran ringan percikan air yang mengalir di atas bebatuan. Sekali kurasakan, suara-suara menyenangkan ini mendesir, mendengung, bergumam, dan berpercikan di benakku selamanya, sebagai bagian dari kenangan-kenangan indah yang berkekekalan.
Tiada jurang pemisah yang tak bisa kujembatani antara pengalaman-pengalamanku dengan pengalaman orang lain; karena diriku senantiasa menjalin hubungan yang penuh hikmah dengan dunia, dengan kehidupan, juga dengan atmosfer berpendar yang melingkupi kita semua. Energi menggetarkan dari udara yang meliputi kita begitu hangat dan melenakan. Gelombang panas dan gelombang suara bermain di wajahku dengan berbagai ragam dan kombinasinya, hingga aku bisa menyimpulkan bagaimana kiranya riuhnya aneka suara yang tak terdengar telinga tuliku ini.
Udara terasa beda sesuai dengan daerah dan musimnya. Bahkan berbeda pada setiap waktu dalam kesehariannya. Angin laut yang segar dan sedikit amis sangat berbeda dengan angin yang menyentak-nyentak di sepanjang tepian sungai, yang lembap dan sarat dengan bebauan tanah. Udara gunung yang tertahan, ringan dan kering, tak mungkin sama dengan udara pantai yang tajam bergaram. Udara musim dingin terasa padat, keras, dan menekan, sementara udara musim semi terasa segar dan menggairahkan. Terasa ringan, mengalir, dan sarat dengan ribuan bau yang berdenyut dari bumi, rumput, dan daun-daun yang baru bersemi. Udara pada pertengahan musim panas terasa padat, lembap, atau kering dan terbakar, seakan baru saja keluar dari pemanggangan. Ketika angin sepoi mengelus keheningan yang lembap, bebauan yang dibawanya tak sekuat angin di bulan Mei, dan sering kali bau yang dibawanya adalah bau badai yang hendak datang. Kesejukan yang turun menyapu melewati tekanan udara sangat berbeda dengan dingin yang mencucuk tulang di musim salju.
Hujan musim dingin terasa kaku, tanpa bau, dan sendu. Hujan musim semi terasa ringan, wangi, penuh kehangatan yang membawa kehidupan. Selalu kusambut dengan sukacita kedatangannya ke bumi, yang memperkaya sungai-sungai, mengairi perbukitan dengan limpahannya, menggemburkan tanah agar siap ditanami, menghamburkan wangi yang tak puas-puasnya kuhidu dengan hidungku. Hujan musim semi sangatlah indah, merata, dan membawa bahagia. Dengan tetesannya yang bak mutiara, dibasuhnya setiap helai daun pohon dan semak secara merata, baik kepada tanaman herbal yang bermanfaat maupun kepada rumput beracun sekalipun, juga kepada setiap makhluk yang membutuhkan curahannya.
Semua indra saling membantu dan memperkuat satu sama lain, hingga aku tak dapat membedakan apakah sentuhan atau penciuman yang lebih banyak bercerita kepadaku tentang dunia. Di mana-mana, “sungai sentuhan” bergabung dengan “arus aroma”. Setiap musim beraroma khas. Musim semi beraroma tanah dan getah. Bulan Juli dilimpahi aroma bulir-bulir gandum meranum. Semakin lanjut musim berjalan, aromanya pun berganti, dikuasai aroma kering dan matang, dan aroma bunga golden-rod, tansy dan everlasting menandai waktu yang melaju. Di musim gugur, wangi yang lembut mempesona memenuhi udara, mengambang dari semak-semak, rerumputan, bunga, dan pepohonan. Semuanya bercerita kepadaku tentang waktu pergantiannya, tentang kematian dan kehidupan yang baru, tentang gairah dan pemuasannya.
SIRKUS PIKIRAN
Pesta ceria ini berlangsung terus dan gila-gilaan. Para penarinya adalah pikiran-pikiranku sendiri. Ada pikiran yang sedih, ada yang senang. Ada pikiran yang cocok untuk berbagai musim dan cuaca, pikiran untuk semua umur dan negara. Ada pikiran konyol dan bijaksana. Ada pikiran tentang orang-orang, barang-barang. Ada pikiran yang kekanak-kanakan. Ada pikiran yang besar dan agung. Semuanya berayun, berputar, bergandengan tangan. Seorang pelawak lucu berpakaian hijau dan emas memandu tarian pikiran-pikiranku. Tamu-tamunya tak mengikuti aturan atau contoh apa pun. Tak ada pikiran yang saling berhubungan. Bahkan tak ada aliansi internasional di antaranya. Setiap pikiran bertindak seakan-akan dirinya adalah sebuah puisi yang baru tercipta.
Mulutnya tak bisa dibukanya,
Tapi dari sana melayang keluar suatu rupa.
Lirik magis? Oh, seandainya saja kutuliskan semuanya! Dengan cara yang tak teratur mereka muncul melalui jalan raya benakku yang biasanya sangat tertutup. Dengan lagu dan teriakan kemabukan, mereka datang. Tak akan pernah ada lagi yang menyaksikan kekacauan yang lebih membingungkan daripada ini.
Pejamkanlah matamu dan saksikan mereka muncul—para kesatria dan para putri yang kusayangi. Mereka datang dengan hiasan bulu burung dan berturban, berbaju zirah dan berpakaian sutra. Gadis-gadis lembut berbaju abu-abu. Pangeran-pangeran ramah dengan jubah merah. Si centil dengan mawar merah di rambutnya. Pendeta-pendeta dengan jubah bertudung yang bisa menyelubungi menara Minster. Gadis-gadis kecil yang malu-malu memeluk boneka kertasnya. Anak-anak sekolah berpipi tembam. Profesor linglung yang membawa sepatu yang terkempit di ketiaknya dan kelihatan sangat bijaksana, diikuti oleh nenek sihir, peri, kurcaci dan pasukan yang baru dilepaskan dari perahu Nuh yang selama ini terombang-ambing dihantam badai. Mereka berjalan, melenggang, melayang, dan berenang. Beberapa ada yang datang melewati api. Seorang peri sungai memanjat ke bulan, menaiki tangga yang terbuat dari dedaunan dan embun beku. Seekor merak berparuh besar terbang di sela-sela dahan pohon delima dan mematuk-matuk buahnya yang kemerahan. Lalu ia menjerit begitu keras, hingga Apollo di keretanya yang berapi berpaling; dari busurnya yang mengkilap ia pun membidikkan sebatang panah ke arah merak itu. Namun bidikan ini sama sekali tak membuat si merak terganggu. Ia membentangkan sayapnya yang bak permata dan memamerkan ekornya yang indah berujungkan api ke muka si dewa matahari!
Lalu datanglah Venus, persis seperti patung yang kupunyai, agung, bermata teduh, menari kalem dan berwibawa seperti Ratu Elizabeth, dikelilingi pasukan Cupid yang manis berpipi merah dan mengendarai awan bersemu merah muda, berayun ke sana-kemari ditiup angin semilir, sementara di sekitarnya menari-narilah bunga-bunga dan sungai-sungai dan pohon ceri Jepang yang aneh yang ditanam di dalam pot! Di belakang mereka datanglah si Pan dengan rambutnya yang hijau dan sandalnya yang berhiaskan permata; dan di sisinya, hampir aku tak dapat mempercayai penglihatanku sendiri, berjalanlah seorang biarawati sederhana yang memutar rosarionya. Di kejauhan tampaklah tiga penari bergandengan tangan: komentar yang kurus kelaparan, lawakan yang gemuk dan berlesung pipit, dan khotbah tentang nasib. Tak jauh dari mereka datanglah serangkaian Malam dengan rambut terurai oleh angin dan Hari-hari dengan ranting-ranting kering di punggungnya. Segera kulihat juga tubuh tambun Kehidupan bangkit di antara kerumunan itu, memegang bayi telanjang di satu tangannya dan pedang di tangan lainnya. Seekor beruang berada di dekat kakinya, dan di sekelilingnya berputaran dan berkilauan jutaan atom yang bersama-sama menyanyi: “Kami adalah kehendak Tuhan.” Atom kawin dengan atom. Zat kimia kawin dengan zat kimia. Dan tarian kosmis itu pun terus berlangsung dengan aturan yang berubah dan tak berubah, sehingga kepalaku menjadi pening dan berdenging.
Ketika baru saja hendak meninggalkan peragaan batin ini untuk berjalan ke kebun yang tenang di dunia mimpi, aku melihat ada keramaian di salah satu pintu masuk dari Istana Pesonaku ini. Jelas nyata dari bisik-bisik dan desas-desus bahwa ada orang terkenal yang baru tiba. Tokoh yang pertama kulihat adalah Homer, yang sudah tidak buta lagi. Ia membawa rantai emas dan menarik kapal-kapal beranjungan putih orang-orang Achaia yang mengangguk-anggukkan kepala dan berceloteh seperti segerombolan angsa putih. Plato dan Mother Goose, bersama anak-anak yang hidup di dalam sepatu, menyusul di belakangnya. Simple Simon, Jill, Jack yang kepalanya sudah diobati, dan si kucing yang jatuh ke dalam krim—nama-nama itu adalah tokoh-tokoh dongeng dari lagu kanak-kanak dalam buku Mother Goose—menari-nari, berputar-putar, sementara Plato dengan tenang memberikan pelajaran tentang hukum di negeri Jungkir Balik. Setelah itu tampil si Calvin yang berwajah angker dan Sappho yang berwajah manis dan bermahkota ungu, yang menari tarian Schottische. Aristophanes dan Moliere juga bergabung untuk meramaikan suasana, keduanya berbicara secara bersamaan. Moliere berbahasa Yunani dan Aristophanes berbahasa Jerman. Menurutku ini aneh, karena Jerman adalah bahasa mati sebelum Aristophanes lahir. Shelley yang bermata bening membawa seekor burung gereja yang mengepak-ngepakkan sayapnya; ia lalu menyanyikan lagu chanticleer-nya Chaucer. Henry Esmond mengulurkan tangannya untuk mengajak Diana dari Crossway untuk berdansa. Sepertinya Henry tidak memahami lelucon Diana dari abad ke-19; sehingga ia tidak tertawa. Atau mungkin ia hanya tak berselera lagi melihat wanita-wanita yang cerdas. Anon Dante dan Swedenborg datang bersama-sama sambil berbincang dengan asyiknya tentang hal-hal yang jauh dan mistis. Swedenborg bilang bahwa udaranya sangat hangat. Dante menjawab bahwa ada kemungkinan hujan turun di malam hari.
Tiba-tiba terdengar suara yang sangat ramai, dan ternyata “Pertarungan Buku” baru saja dimulai kembali. Dua tokoh terlibat dalam perdebatan seru. Yang satu berpakaian sederhana buatan tangan, yang satu lagi memakai jubah ilmuwan di atas jas yang campur-aduk. Dari percakapan mereka aku bisa tahu bahwa mereka adalah Cotton Mather dan William Shakespeare. Mather menuntut agar para tukang sihir dalam Macbeth ditangkap dan digantung. Shakespeare menjawab bahwa mereka sudah cukup menderita di tangan para kritikus sastra. Lalu muncul dua belas kesatria Meja Bundar yang mendorong kedua orang itu ke samping; mereka berbaris sambil membawa baki yang di atasnya duduk si angsa yang bertelur emas. “Kuda Sang Paus” dan “Lembu Emas” mengadakan pertempuran antara sejarah dan fiksi, seperti yang sering kubaca di buku-buku tetapi yang belum pernah kusaksikan sendiri. Binatang-binatang kecil ini kemudian dibikin lari berhamburan oleh seekor gajah besar yang berjalan masuk dan Rudyard Kippling duduk di atas belalainya. Gajah itu kemudian berubah menjadi sebuah rakish craft (aku tidak tahu apa itu rakish craft, yang jelas bentuknya sangat aneh dan memang sangat cerdik). Mungkin dulu ditelantarkan oleh para bajak laut liar dari laut Selatan; karena kulihat seorang pria bermata tajam dan berjaket beludru bergantungan di temalinya dan dengan gembira bersorak ketika kapal itu tenggelam. Ketika kapal itu hampir hilang dari penglihatan, Falstaff bergegas menyelamatkan nakhodanya yang kesepian dan kemudian mencopet dompetnya. Namun Miranda membujuknya untuk mengembalikan dompet itu. Stevenson berkata: “Siapa yang mencuri dompetku, maka ia mencuri sampah!” Falstaff tertawa dan bilang bahwa itu lelucon yang sangat lucu, sama lucunya dengan lelucon yang pernah ia dengar pada zamannya.
Dan ini menjadi sinyal bagi keluarnya sekumpulan kutipan bijak. Kutipan-kutipan itu bergegas, maju-mundur: segerombolan frasa awal setengah-jadi, kalimat-kalimat yang terpenggal, perasaan-perasaan yang dijadikan parodi, dan metafora-metafora yang luar biasa. Aku tak bisa membedakan frasa-frasa atau gagasan-gagasan buatanku sendiri dengan buatan orang lain. Aku melihat sebuah kalimat yang miskin, compang-camping, dan menciut—kemungkinan adalah milikku—yang menangkap sayap-sayap gagasan yang baik dengan cahaya jenius bersinar seperti cahaya halo di kepalanya.
Di sana-sini, berkali-kali para penari berganti pasangan tanpa undangan atau permisi. Pikiran-pikiran saling jatuh cinta pada pandangan pertama, kemudian langsung menikah, dan bergandengan tangan tanpa berkencan terlebih dulu. Ketidakserasian pada perkawinan dua pikiran yang tak pernah berkencan secara wajar sebelumnya, dan perkawinan tanpa rayuan ini, tentu saja kemungkinan besar akan menimbulkan percekcokan internal. Bahkan bisa mengakibatkan perpecahan keluarga-keluarga terhormat. Di antara pasangan-pasangan baru itu adalah perkawinan antara dua kata benda yang sebelumnya kukuh dalam kesendiriannya dan sangat dihormati orang. Pertemuan mereka yang dahsyat ini hampir saja mengacaukan tarian. Untunglah mereka sendiri kemudian menyadari konyolnya penyatuan mereka, lalu kembali berpisah. Bentuk-bentuk kata yang lain kelihatannya memiliki kebiasaan hidup dalam ketidakharmonisan. Sudah terlalu sering mereka kawin-cerai. Mereka tergabung di dalam kelompok bereputasi jelek bernama Metafora Campuran.
Segerombolan bayangan melayang-layang, keluar-masuk. Mereka mengenakan “kostum pelupaan” yang menarik perhatian. Mereka seakan-akan ingin menari, tetapi kemudian menghilang. Mereka muncul lagi beberapa kali, tetapi tak pernah menyingkapkan tabir wajahnya. Si bandel Keingintahuan berkata kepada Kenangan: “Mengapa mereka melarikan diri? Ini ketidakjujuran yang mengherankan!” Lalu Kenangan pun berlari menangkap mereka. Setelah kejar-kejaran beberapa saat, sambil terengah-engah dan saling tabrak, ia berhasil menangkap beberapa pelarian itu dan membawa mereka masuk. Tetapi ketika akhirnya topeng mereka hendak dilepaskan, ternyata beberapa di antara mereka sangat mengecewakan sebab tak ada keistimewaannya sama sekali, dan yang lain hanyalah kutipan-kutipan liar yang mencoba menyembunyikan tanda-tanda bacanya. Kenangan menjadi sangat kecewa, sebab ia telah bersusah-payah mengejar dan menangkap mereka yang ternyata hanya gerombolan pengacau tak berarti.
Di tengah-tengah gegap gempita itu, empat raksasa agung melangkah masuk. Mereka adalah Sejarah, Filsafat, Hukum, dan Kedokteran. Mereka tampak terlalu anggun untuk bergabung dalam pesta-pora ini. Namun, ternyata, ketika kuperhatikan, raksasa-raksasa perkasa ini kemudian memecah-mecah dirinya menjadi fragmen-fragmen yang kemudian mulai menari berputar, menari dalam divisi, subdivisi, re-subdivisi, dari omong kosong ilmu pengetahuan! Sejarah pecah menjadi Filologi, Etnologi, Antropologi, dan Mitologi. Ini pun masih memecah-mecah diri menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi. Setiap kejuruan memeluk pengetahuannya sendiri dan berdansa berputar-putar. Sementara itu yang lain mulai terkantuk-kantuk dan aku pun mulai lelah. Untuk mengakhiri tarian yang anggun ini, pasukan peri melambai-lambaikan bunga poppy di atas kami semua. Pesta pun memudar, kepalaku terkulai, dan aku tersentak. Rasa kantuk membangunkanku. Dan di sisiku kulihat teman lamaku si Bottom.
“Bottom,” sapaku, “aku baru saja mengalami mimpi yang tak akan bisa dijelaskan dengan akal manusia. Aku rasa begitu. Tak ada seorang pun bisa menjelaskannya. Tak ada mata yang pernah melihatnya. Tak ada telinga yang pernah mendengarnya. Tak ada tangan yang mampu mencicipinya. Tak ada lidah yang memahaminya. Dan hati pun tak kuasa melaporkan bagaimana sebenarnya mimpiku itu.”
A CHANT OF DARKNESS
I
Tak berani kubertanya kenapa kami tak diberi cahaya,
Terhempas ke pulau-pulau sepi di samudra tak terukur,
Atau bagaimana penglihatan kami membentuk visi nan indah,
Lalu pudar dan sirna, meninggalkan kami sendiri di gelap buta.
Rahasia Tuhan berdiam di kuil kami;
Dalam rahasia-Nya tak berani kumengintip. Hanya ini kutahu:
Dengan-Nya ada kekuatan, bersama-Nya ada hikmat,
Dan hikmat-Nya meletakkan kegelapan di atas jalan kami.
Dari gelap yang tak terpeta dan terkira kami tiba,
Dan tak lama lagi kami akan kembali
Kepada gelap yang luas dan abadi.
O Gelap! Kau yang menakutkan, tetapi manis dan suci!
Dalam ruang anggunmu, lepas dari mata manusia,
Tuhan membentuk semesta-Nya; Ia meletakkan pasak bumi,
Ia menetapkan ukurannya, membentangkan garis di atasnya;
Ia menutup laut dengan pintu-pintu, menjadikan kemegahan
Awan-gemawan yang menyelubunginya;
Ia pun memerintah pagi, dan saksikan, kekacauan berhenti
Dengan terbitnya mentari;
Ia membagi arus untuk air yang melimpah;
Ia mencurahkan hujan ke bumi—
Di atas alam lepas, di tempat tak ada manusia,
Di atas gurun tempat daun-daun lembut tak muncul,
Dan lihatlah, kehijauan marak di padang-padang,
Dan bukit-bukit berjubah keindahan!
Dari gelap yang tak terpeta dan terkira kami tiba,
Dan tak lama lagi kami akan kembali
Kepada gelap yang luas dan abadi.
O Gelap! Kau yang penuh rahasia tak terungkap!
Di kedalaman sunyimu, di dasar mata air tak terukur,
Tuhan membentuk jiwa manusia.
O Gelap! Kau yang penuh kasih dan mahatahu!
Bak bayang senja, pesanmu mendatangi manusia.
Kau letakkan jemari halusmu di kelopak mata yang letih,
Dan jiwanya, yang letih dan merindu rumahnya, kembali
Ke dalam pelukmu yang tenang damai.
Dari gelap yang tak terpeta dan terkira kami tiba,
Dan tak lama lagi kami akan kembali
Kepada gelap yang luas dan abadi.
O Gelap! Gelap yang bijak, menggeliat dan melesat!
Di dalam misterimu kau sembunyikan cahaya
Kehidupan jiwa.
Di tepianmu yang senyap aku berjalan tegap;
Tak cemas bahaya, walau berjalan di lembah buta.
Tak akan kukenal gelombang ketakutan
Saat Maut yang lembut membawaku ke pintu hidup,
Tatkala selubung malam terbuka,
Dan siang memancarkan cahayanya.
Dari gelap yang tak terpeta dan terkira kami tiba,
Dan tak lama lagi kami akan kembali
Kepada gelap yang luas dan abadi.
Jiwa lemah, yang diburu ketakutan, menolak kegelapan;
Tetapi di wajah kami yang harus berdiam dalam kelam
Berhembus angin yang berasal dari sayap-sayap malaikat,
Di sekitarnya keluar cahaya dari api yang tak kasatmata.
Tiang cahaya ajaib yang bersinar di kegelapan;
Jalan keindahan yang berkelok ke dalam dunia hitam
Menuju dunia cahaya lainnya,
Di mana tiada tabir indra yang mencegahnya dari surga.
Dari gelap yang tak terpeta dan terkira kami tiba,
Dan tak lama lagi kami akan kembali
Kepada gelap yang luas dan abadi.
O Gelap! Kau yang terberkati dan tenang!
Kepada yang terbuang yang harus tinggal bersamamu,
Betapa pemurah dan ramahnya dirimu;
Dari kejamnya dunia kau lindungi ia;
Kepadanya kau bisikkan rahasia malam yang penuh misteri;
Kepadanya kau limpahkan rentang ruang yang luas,
Seperti jiwanya yang tak terbatas;
Kau anugerahkan kemuliaan kepada yang rendah;
Dengan kepakmu kau selimuti segala yang tak indah;
Di bawah sayap-sayapmu kutemukan kedamaian.
Dari gelap yang tak terpeta dan terkira kami tiba,
Dan tak lama lagi kami akan kembali
Kepada gelap yang luas dan abadi.
II
Pernah di kehampaan cahaya aku mengembara;
Dalam gelap aku terjerembap,
Dan ketakutan menuntun tanganku;
Kakiku tertancap ke bumi,
Cemas akan sejuta lubang.
Oleh berbagai teror malam yang menakutkan.
Kepada hari yang baru terbangun,
Kuulurkan tanganku memohon.
Kemudian datanglah Cinta, di tangannya terbawa
Pelita yang menjadi terang langkah,
Lalu dengan lembut berkatalah Cinta: “Sudahkah kau
Masuki gelap yang kaya-raya?
Sudahkan kau masuki kekayaan malam?
Carilah dalam kebutaanmu. Di sana tersimpan
Harta karun yang tak terbilang.”
Kata-kata Cinta itu menyalakan semangatku.
Penuh gairah, jemariku mencari misteri-misteri itu,
Yang megah, yang suci dan terdalam, dari segala hal,
Dan dalam ketiadaan, dengan kepekaan spiritual
Kukenali penuhnya kehidupan;
Dan pintu gerbang Hari pun terbentang lebar.
Aku tersentak oleh keriangan;
Tubuhku gemetar oleh sukacita;
Hatiku dan seluruh bumi
Bergetar oleh kebahagiaan;
Ekstase kehidupan
Melanda seluruh dunia.
Pengetahuan telah menyibak tirai surga;
Di tepian terluar kegelapan, memancarlah cahaya;
Malam mengirimkan pilar cahaya!
Hai si buta yang tersandung gelap tanpa terang,
Saksikanlah harimu yang segar baru!
Dalam ketakpastian, berkilau bintang Pikiran;
Daya khayal memperoleh mata yang cemerlang,
Dan pikiran beroleh penglihatan yang gemilang.
III
“Orang itu buta. Apa artinya kehidupan baginya?
Sebuah buku tertutup di depan wajahnya yang lelah.
Andai saja ia bisa melihat
Bintang jelita itu, dan mengetahui
Sebuah momen suci yang menggelorakan
Dan degup sukacita oleh penglihatan!”
Segala penglihatan berasal dari jiwa.
Saksikanlah jiwamu terbang mengembara
Dengan semangat tak terkekang! Pernahkah kau lihat
Pikiran bersemi di wajah seorang anak buta?
Kau lihatkah pikirannya berkembang,
Seperti fajar bersuar, menggapai
Cahaya Sang Penguasa?
Itulah hebatnya mata batin kita.
Di dunia yang luar biasa tempatku berada
Kujelajahi hidupku dengan rabaan tanganku;
Aku berbahagia ketika memahami;
Jemariku selalu ingin menyentuh bumi,
Dan meneguk keajaibannya dengan sukacita,
Menarik rasa bahagia dari bumi tercinta;
Kakiku dilimpahi suara gumaman,
Detakan, dari segala yang tumbuh berkembang.
Inilah sentuhan, yang bergetar penuh arti,
Nyala ini, udara ini,
Desir darah yang gembira ini,
Cerahnya hari di hati ini,
Hangatnya simpati di telapak tangan ini!
Kau, sentuhan buta, yang penuh kasih dan mencari,
Untukku kau buka buku kehidupan ini.
Suara-suara lirih bumi yang tak berisik
Datang dengan desirnya yang berkersik;
Kaki-kaki kehidupan yang manis dan pemalu;
Dengung selembut sutra sayap-sayap ngengat
Di atas telapak tanganku yang tertahan;
Riuh kepak sayap-sayap serangga;
Tetesan air berwarna keperakan;
Angin sepoi yang sibuk di sela rumput musim panas;
Daun berembun beku yang melayang diayun angin;
Guyur hujan musim panas laksana kristal,
Terurapi bau tanah gembur beraroma.
Jemariku yang siaga mendengar
Curahan berbagai suara
Yang dihantarkan angin rimba.
Aku bermandikan bayangan basah
Di bawah pohon pinus, di mana udaranya sejuk
Saat hujan selesai merajuk.
Teman kecilku, si tupai yang lincah
Mengibas pundakku dengan ekornya,
Melompat dari ayun ranting satu ke ayun ranting lainnya,
Lalu kembali menikmati sarapannya di tanganku.
Ada cinta yang gembira antara aku dengannya;
Ia melonjak; detak jantungku berdansa;
Betapa hidup yang bergairah membuatku sukacita.
Bukankah pernah jemariku mengukir pasir
Di pantai yang bermandikan cahaya surya?
Bukankah pernah tubuhku merasakan air bernyanyi
Ketika lautan memeluknya
Dengan musiknya yang beralun-alun?
Bukankah pernah kurasakan
Ayunan ombak di bawah perahu,
Kibaran layar,
Kencangya tiang kapal
Hembusan liar
Dari angin yang dibumbui petir?
Bukankah pernah kucium bau
Sayap-sayap yang cekatan dan siap terbang
Sebelum badai menjelang?
Di sini sukacita bangkit, bercahaya;
Di sini, di geloranya hati.
Tanganku melahirkan penglihatan dan suara dari perasaan,
Indra-indra bergerak di dalam diriku tiada akhirnya;
Menautkan gerakan dengan penglihatan, bau dengan suara
Tanganku memberikan warna pada angin yang legit.
Tanganku memberikan ritme dan gairah sebuah simfoni
Pada getar sayap-sayap yang tak kasatmata.
Dalam rahasia bumi, matahari, dan udara
Jemariku sangatlah bijaksana;
Ditangkapnya cahaya dari kegelapan,
Dan terpesona pada harmoni yang meniti dalam sunyi.
Aku berjalan di hening malam,
Dan jiwaku berdendang kebahagiaan.
O Malam, yang hening beraroma, betapa kumencintaimu!
O Malam, yang luas lempang, betapa kumencintaimu!
O Malam, yang setia dan agung!
Kusentuh kau dengan tanganku;
Aku bersandar pada kekuatanmu;
Dan kutemukan damai di dalammu.
O Malam yang tiada batas dan indah!
Kaulah pelipur jiwaku yang resah
Aku bersemayam lega di pelukmu
O Ibu yang gelap dan penuh kasih!
Bagai merpati, aku beristirahat di dadamu.
Dari gelap yang tak terpeta dan terkira kami tiba,
Dan tak lama lagi kami akan kembali
Kepada gelap yang luas dan abadi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Judul Asli: The World I Live In
Pengarang: Helen Keller
Penerjemah: Dita Sylvana
Penyunting: Salahuddien Gz
Penerbit: Kayla Pustaka (Jln. Ampera Raya Gg. Kancil 15, Ragunan Jaksel. 021-7884 7301)
Harga: Rp 35.000,- (180 Hlm. Bookpaper)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kisah menakjubkan perjuangan anak manusia yang mengatasi keterbatasan fisiknya.”
—Times
“Inilah salah satu catatan paling berharga dalam sejarah manusia.”
—British Weekly
“Dokumentasi tentang makna hidup terdalam. Sulit dicari tandingannya dalam sejarah penulisan.”
—Yorkshire Post
“Semua orang pasti tersentuh dan terpukau oleh kesabaran, cinta kasih, dan kecerdasan yang ditunjukkan Helen Keller di buku ini.”
—Queen
0 komentar:
Posting Komentar