(Penyair Sulis dan Tuhan) Imajinasi Murni dan Metapora Murni

Imajinasi adalah pengadaan, atau pendatangan - ia mengadakan, atau mendatangkan, yang tiada, menjadi ada. tapi, siapakah ia di sana? di dalam permainan imajinasi dan metapora, yang kita baca jauh mengatasi aristoteles dan penafsir-penafsirnya kemudian. Demikian juga dengan metapora: saat pengadakan itu terjadi, saat itu pula metapora dimulai dalam gerak imajinasi. dan bukan hanya metapora yang bisa kita sematkan sebagai gerakan, bergeraknya suatu kata ke kata lain untuk maksud lain, tapi juga adalah imajinasi, yang bergerak mengadakan yang tiada menjadi ada. Dalam hubungan dengan semua itu, maka sebenarnya kita tidak memiliki imajinasi dan kegiatan kita pun, bukanlah metapora. Sebab kita tak kuasa mengadakan, dan kita tak kuasa memberi nama dari apa yang tiada, tapi kini telah diadakan itu. Maka, kalau kini kita berbicara tentang imajinasi dan metapora, sebetulnya kita sedang berbicara tentang proses mengkomposisi, membentukkan dia yang telah ada, ke dalam bayangan pikiran kita sendiri yang, adalah hasil dari kerja imajinasi murni dan metapora murni itu. Kita tak kuasa mengadakan, kecuali membentukkan dari yang sudah ada; kita juga tak kuasa memberi nama yang tadinya tiada. ringkasnya, kita adalah pemakai yang sudah ada, meletakkannya sesuai panggilan genetik tubuh dan jiwa kita sendiri. kalau demikian apakah imajinasi dan apakah metapora? imajinasi dan metapora, itu ada hubungan langsung dengan kerja sang maha tiada yakni tuhan itu sendiri.

» Selengkapnya...

AKU BUTA DAN TULI SEJAK BAYI by Helen Keller (Cuplikan Isi Buku)

GETARAN-GETARAN LEMBUT YANG KURASAKAN

Kota memang sangat menarik, tetapi sentuhan kesunyian di pedesaan selalu akrab menyambutku setelah berada di riuhnya kota dan mendengar derit kereta api yang menyebalkan. Betapa hening dan sentosa segala yang terjadi pada alam, baik penghancuran, perbaikan, maupun perubahannya! Tak terdengar suara dentam palu, gergaji, atau suara batu yang sengaja dipecah. Yang ada hanya suara musik yang berdesir di rumputan ketika dedaunan gugur dan buah-buah lembut jatuh dihembus angin dari cabangnya sepanjang hari. Dalam diam semua menunduk, layu, dan tertumpah ke bumi, hingga penciptaan ulang bisa dimulai kembali. Segalanya lelap tertidur, sementara arsitek-arsitek waktu menawarkan jasa-sepinya di tempat lain. Keheningan yang sama pun meraja ketika secara serentak bumi menghadirkan ciptaan barunya. Dengan lembut, lautan rumput, lumut, dan bunga-bunga meruak, menebar, memenuhi bumi. Tirai dedaunan menyelimuti dahan-dahan pohon. Pohon-pohon besar mempersiapkan diri di jantungnya yang kokoh untuk menerima kembali kehadiran burung-burung yang mendiami kamar-kamar lapangnya yang menghadap ke selatan dan ke barat. Ah, tiada tempat yang terlalu hina untuk merumahkan makhluk-makhluk ceria ini. Aliran sungai yang melintasi padang rumput mendobrak belenggu bekunya dengan nada-nada yang bergelora, gemercik, dan mengalir bebas. Dan semuanya itu terangkai dalam waktu kurang dari dua bulan, mengikuti irama orkestra alam, di tengah wangi alam yang sejuk segar.

» Selengkapnya...

Mengatasi Miskin Ide dalam Menulis #2

Memulai Tulisan (Membiasakan Menulis)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Apa kabar wahai kawan-kawan pembaca? Senang sekali kita bisa bersapa meski hanya melalui tulisan. Agak lama memang terbitnya rentang tulisan pertama dan ke-dua menganai edisi ‘BELAJAR’ ini. Karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya atas keterlambatan ini. Bagi penunggu serial 'Receh' pun penulis mohon maaf karena kelanjutan cerita tersebut masih dalam tahap editing dan harus diselang dengan tulisan lain. Selain karena permintaan pembaca akan kelanjutan edisi 'Belajar#' ini, kemampuan penulis yang terbatas pun menjadi kendala dalam prodiktifitas dua edisi tulisan berkala ini. Jadi, dari pada memaksakan yang belum layak lebih baik tampilkan saja yang telah rampung, toh dua tulisan itu sama-sama bermanfaat (insyaallah, amin).

Sebelum beranjak pada masalah, terlebih dulu diberitahukan bahwa edisi ‘BELAJAR’ ini adalah realsasi ide-ide penulis dalam segala hal yang berkaitan mengenai dunia tulis-menulis, khususnya dalam karya sastra (baik prosa maupun puisi). Segala hal yang berhubungan dengan karya tulis sastra baik sistematika penulisan, masalah, serta faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menulis dituangkan di sini.

Memang sempat terpikir untuk tidak hanya mengangkat topik menulis saja, tapi juga membaca, menyimak dan berbicara. Hanya saja, untuk sementara ini menulis adalah hal yang paling memungkinkan untuk penulis angkat ke hadapan kawan sekalian. Namun, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari disuguhkan pula seputar membaca, menyimak, berbicara, atau mungkin juga hal-hal di luar keterampilan berbahasa. Ini ditandai dengan hanya dicantumkan judul ‘BELAJAR’ tanpa diikuti kata yang lain.

» Selengkapnya...

Kampanye Sastra oleh Komunitas Pintu

Komunitas Pintu yang bertempat di Jl. Rd. Bujang RT.03/01 Purwodadi, Kel. Tebing Tinggi, Kec. Tebo Tengah, akan menggagas workshop tentang menulis kreatif puisi. Acara ini akan diselenggarakan pada tanggal 1 Mei 2011 jam 12.30 s.d. 17.00 WIB di sekretariat Komunitas Pintu. Pengisi materi atau pemateri pada workshop tersebut oleh Dr. Sudaryono, M.Pd yang merupakan dosen UNJA dan seorang sastrawan.

» Selengkapnya...

Belajar Lebih Peduli Bersama Komunitas “KOPI Sastra”

Komplotan Penulis Imajinasi Sastra atau yang lebih dikenal dengan sebutan KOPI Sastra, kini mulai bergerak secara perlahan namun pasti dalam mewadahi para penikmat dan pegiat sastra. KOPI Sastra berdiri pada tanggal 17 Oktober 2008 di Bogor. Pendirian KOPI Sastra memang bermula seperti angin yang melintasi pikir Wahyudi dan Helmy Fahruroji dan kemudian berdomisili dalam kepala mereka. Hingga beberapa bulan kemudian pikiran tersebut menjadi sebuah gagasan untuk melahirkan sebuah komunitas sastra di Bogor.
Pemikiran tersebut muncul ketika mereka menyukai ruang lingkup sastra, terutama dalam menulis. Kendala yang mereka hadapi ialah bagaimana cara mencari wadah untuk menyalurkan tulisan-tulisan mereka. Dengan memberanikan diri, mereka mengadakan diskusi dengan beberapa teman kuliah di Universitas Pakuan Bogor. Pertemuan pertama sederhana, hanya sekedar mencari dukungan untuk menciptakan wadah bagi warga Bogor yang memiliki hobi menulis tentang nilai-nilai sastra.
Garapan utama pada waktu itu ialah para mahasiswa dan mahasiwi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan Bogor. Hal tersebut dikarenakan mereka memang para mahasiswa yang mengambil jurusan tersebut. Kemudian muncul pemikiran-pemikiran untuk menumbuhkembangkan komunitas KOPI Sastra yang mereka lahirkan dengan menggarap para pelajar se-Kota Bogor.
Hingga tahun 2010, KOPI Sastra sudah membuktikan produktifitasnya dengan menerbitkan dua buku dan satu buah compact disk (CD) secara self publishing yang merupakan antologi karya-karya para pengikutnya yang aktif. Antologi-antologi tersebut dibuat sederhana karena anggaran yang digunakan diambil dari kocek para pengurusnya.
Perjalanan sebuah komunitas jelas tidak selalu mulus, begitu juga dengan KOPI Sastra. Ditengah-tengah perjalanan mengalami berbagai hambatan, kebanyakan para pengikutnya menghilang begitu saja. Padahal di komuitas KOPI Sastra tiap anggota sama sekali tidak dikenakan anggaran wajib. Bahkan, ketika para anggota yang berdomisili di luar kota Bogor apalagi luar provinsi atau pulau, cukup dengan mengirimkan karyanya via e-mail ketika ingin karyanya diterbitkan. Mungkin itulah salah satu sifat manusia, ingin semua serba instan, seperti halnya seseorang yang ingin buang air besar atau bermain sulap;  bimsalabim, jadi! 
Namun hingga 2011 ini, mereka tidak mau menyerah ditengah perjalanan. Tubuh mereka sudah terendam sebagian dalam kobangan sastra. Mereka amat-sangat cinta dengan KOPI Sastra. Mereka masih bisa melaluinya dengan senyum dengan lesung pipi yang merah merona. Hal tersebut dibuktikan dengan merilis web mereka, www.kopisastra.org untuk menaungi para penikmat dan pegiat sastra mengekspresikan karyanya. Web tersebut diciptakan oleh Menkominfo KOPI Sastra, Pry. Pembuatan situs tersebut juga merupakan sebagai penyambutan HUT Sastra Internet pada tahun ini. Peresmian web www.kopisastra.org direncanakan pada tahun ini, bertempat di dua kota, Bogor dan Bandung. Selain itu, KOPI Sastra juga akan siap menerbitkan antologi keempatnya pada tahun ini. Antologi yang biasa disebut APK (Antologo Pohon Kopi) itu juga direncanakan akan launching secara bersamaan dengan web www.kopisastra.org di dua kota tersebut.
Semoga komunitas KOPI Sastra menjadi salah satu medan sastra yang dapat menciptakan para sastrawan baru dengan kompetensi, intelegensi, dan kepedulian terhadap esensi-esensi seni-budaya yang tinggi.

» Selengkapnya...

Sastra dalam Pengembangan

Apakah nyemplung dalam kobangan sastra yang kemudian meminum air dan melumuri tubuh dengan lumpurnya itu ada batasnya?...

Melihat berbagai perkembangan yang terjadi dalam ranah sastra beserta konflik-konfliknya, sangat jelas bahwa bidang sastra ialah sebuah ruang meditasi yang terus meluas dan diminati banyak individu. Saat memperhatikan segelintir anak remaja SMP, SMA, dan Mahasiswa yang tertarik dengan dunia sastra, mungkin terpikir akan ada cetakan-cetakan baru atau regenerasi. Namun, setiap tingkat pemahaman yang dimiliki berbeda pada setiap individunya. Tidak sedikit seseorang yang memiliki potensi besar dan sesibilitas tinggi terhadap sastra, memilih bidang lain karena pola pikir yang ada dalam dirinya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki sedikit potensi dan kepekaan standar bahkan cenderung lamban, sangat tertarik dengan sastra.

Tidak bisa dipungkiri, awal mula seseorang tertarik dengan sastra, sebenarnya ia sendiri tidak mengerti, bahwa, sesungguhnya ia telah mencelupkan kakinya pada kobangan sastra (terutama pada tingkatan SD dan SMP). Mereka belum mencapai temuan-temuan, bahwa, betapa menawan sekaligus peliknya dunia sastra. Menawan karena dengan sastra kita sadar akan esensi kehidupan, baik dari segi pribadi apalagi jika dikaji lebih mendalam dan universal. Pelik jika melihat kemudian menkaji konflik, fenomena, dan argumen-argumen yang terjadi hingga sastra terus berkembang seiring polemik-polemiknya. Dengan dan tanpa kita sadari ternyata, hal tersebutlah yang membentuk pola pikir menjadi lebih alamiah, sensitif,  dan kritis.

Jadi, apakah perlu kita membahas tentang polemik-polemik yang terjadi dalam perkembangan sastra yang pelik kepada anak yang sedang asik melukiskan kehidupannnya secara sederhana ke dalam sebuah karya?. Hal ini jelas bergantung kepada siapa pertanyaan tersebut ditanyakan. Menurut saya sendiri, hal ini tidak perlu dijelaskan secara gambalang terlebih dahulu. Biarkan mereka asyik bermain dengan tema dalam kehidupannya, melewati plot-plot dengan berbagai setting hingga menghadapi konflik dan mencapai klimaks. Ketika pola pikirnya mulai berkembang dan sensitif, ia akan menemukan amanat-amanat dari setiap hal yang dialaminya. Maka, munculah gagasan-gagasan baru yang bisa ia kembangkan.

Belajar sastra ialah belajar menelaah, menciptakan sensibilatas tinggi, mengembangkan pola pikir kritis yang sistematis, dan mencari kebenaran yang tersembunyi untuk dihayati sehingga mendapatkan solusi. Hal tersebut akan mewujudkan manusia menjadi manusia yang memiliki hati dan nurani dan berani. Seperti halnya konteks sastra yang pernah saya dengar dalam kuliah, bahwa, sastra itu dapat memanusiakan manusia.

» Selengkapnya...

Mengatasi Miskin Ide dalam Menulis #1

Sahabat, ini sebuah catatan teman tentang menulis, terutama menciptakan sebuah ide dengan belajar secara sederhana. Catatan yang di tulis oleh Abdee Nugraha ini semoga membantu untuk kita. Terutama untuk memulai belajar dan menumbuhkan minat terhadap menulis. Baik, kita simak pembelajaran di bawah ini:

‘Menulis tidaklah gampang’, itulah inti dari setiap ungkapan orang-orang yang mengalami kesulitan dalam menulis. Sulit mendapatkan ide adalah faktor utama dan faktor awal yang biasanya dialami. Inilah masalah yang paling sering muncul pada setiap penulis. Mereka mengistilahkan dengan miskin ide.

Istilah miskin ide sebenarnya kurang tepat disematkan pada manusia waras. Ide sebenarnya selalu ada, hanya saja nampak begitu kabur dan ketika nampak jelas rasanya sulit sekali diungkapkan apalagi dituliskan.

Ide adalah hal-hal yang terlintas di kepala seseorang sebagai pengembangan kerja panca indra. Ketika membayangkan bakso yang begitu pedas dimakan tengah hari bersama kawan-kawan sambil diselingi canda antarsesama saat makan, maka ide itu bermula dari makan bakso. Ketika mendengar lagu ‘Tikus-tikus Kantor’ karya Iwan Fals, terbesit dalam pikiran bagaimana wujud tikus dan kebiasaan tikus kantor, tikus berdasi, dan lain-lain. Maka, sebenarnya ide kita dimulai dari tikus tersebut. Atau ketika tidak memikirkan apa-apa, nampak di depan mata sebuah gorden digoyangkan angin, maka ide berawal dari gorden dan angin.

Setelah mendapatkan sesuatu dari panca indera, haruslah berpikir untuk akhirnya dapat muncul sebuah ide. Pengembangan itu bebas, tak ada aturan dalam mengembangkan ide. Bisa saja kejadian gorden angin mengakibatkan kita terpikirkan angin puting beliung yang menghabiskan rumah di tiga dusun. Semua warga mati kecuali Aisyah, remaja empat belas tahun yang masih perawan.  Aisyah terpaksa melupakan nafsu birahi yang sejak beberapa malam menghantuinya. Inilah contoh pengembangan paragraf hingga akhirnya tercipta sebuah ide.

Sebelum dikembangkan ide ini dalam bentuk tulisan, kita tentu harus begitu peka terhadap apa yang ada di sekitar kita. Haruslah dulu terbiasa menuliskan apapun yang dihasilkan panca indera. Dalam hal ini, membiasakan menuliskan setiap kata atau nama benda adalah syarat utama. Misal, karpet, kertas sapu, sofa, meja kaca, gelas, layar komputer, dan lain-lain.  Mulailah dari kata-kata.

Untuk mengembangkan penghasilan indera menjadi ide yang terkesan kreatif dan imajinatif memang dibutuhkan berpikir yang luas. Tapi, perlu diketahui bahwa berpikir luas pun bisa dilatih. Bila tadi membiasakan dengan menuliskan kata atau nama benda, kali ini tingkatannya lebih tinggi, yaitu klausa dan kalimat. Biasakan menuliskan apapun yang ada di sekitar atau apapun yang dihasilkan panca indera ke dalam bentuk kalimat. Contoh berdasarkan kata-kata di atas misalkan, ‘Karpet hijau yang sudah dua bulan belum dicuci masih terlihat mantap tegar di kamarku’, atau ‘Gelas yang kupakai minum semalam tiba-tiba raib dari atas meja. Padahal aku yakin sekali menyimpan gelas itu di meja, semalam. Setahuku belum ada satu orang pun yang masuk ke kamar ini, wong aku pun belum keluar!’.

Dengan melatih membiasakan menulis kata, nama benda, kemudian klausa dan kalimat, hingga paragraf, maka menulis sebenarnya tidaklah begitu sulit. Tinggal kita perhatikan hal-hal lain di luar ide.

» Selengkapnya...

Fragmen Cerita Novel SABDA PALON

Oleh Salahuddin Gz

Lihatlah aku di sini. Dengan perwujudanku yang bersahaja. Dengan perutku yang besar. Dengan kuncungku yang terangkat ke atas. Dengan tanganku yang senantiasa menunjuk. Aku melihat mendung hitam mulai menangkupi Nusantara. Aku mencium bau anyir kematian di sana. Dan aku mendengar jerit penderitaan. Bumi ini akan segera memerah karena darah yang tumpah. Pasukan dari seberang akan datang menciptakan kekelaman. Pasukan yang sejatinya berasal dari awan putih, namun entah mengapa berubah menjadi mega hitam kematian.

Semua itu tak lepas dari karma penghuni Nusantara. Yang telah lalai disebabkan kemegahan para leluhurnya. Kesemena-menaan, keangkuhan, kesombongan telah meraja. Pasukan dari seberang itu yang akan membalaskan karma dengan setimpal. Karena itu, aku akan mewujud di bumi Nusantara sebagai sosok manusia biasa. Agar manakala perubahan itu terjadi, tidak banyak darah tertumpah menggenangi persada. Namun sesudahnya, aku akan meninggalkan Nusantara dalam jangka lima ratus tahun.

Manakala alam telah menggeliat karena sudah tak lagi mampu menampung dekap mendung kematian, saat itulah pertanda bahwa aku akan kembali ke Nusantara. Kini aku telah bangun dari tidur panjangku. Dan aku telah siap untuk mengejawantah!


Hiruk-pikuk kegiatan perniagaan kini berubah menjadi teriakan yang memperingatkan teman yang lain, bentakan agar segera melepas sauh, atau makian karena beberapa orang tak sengaja menghalangi tubuh mereka yang hendak berusaha menyelamatkan diri. Tubuh-tubuh itu berhamburan dari dermaga. Ada yang masih melompat turun dari jung. Ada yang tengah sibuk mengangkat sauh. Ada yang sudah berlari ke daratan. Suasana kacau-balau.
       
Disusul dari arah berlawanan, beberapa kuda dipacu kencang menuju pelabuhan. Tampak beberapa prajurit Kamboja datang untuk memastikan sendiri kabar yang telah diterima dari petugas pelabuhan. Ada sekitar sepuluh prajurit yang memacu kudanya mendekat ke dermaga. Dan begitu sudah sedemikian dekat dengan pantai, mereka memperhatikan dengan saksama ke arah selatan. Di tengah lautan tampak tujuh buah jung, satu berukuran besar dan enam berukuran sederhana, merapat ke Prey Nokor. Kini, tanpa memerlukan kaca pembesar berbentuk teropong, mata telanjang mereka sudah bisa melihat bendera bergambar surya berkibar di atas jung-jung itu. Ditambah dengan bentangan kain merah dan putih yang melambai-lambai ditiup angin barat, seluruh prajurit Kamboja sudah yakin, jung-jung yang hendak merapat ke pelabuhan itu tak lain adalah jung-jung tempur Majapahit.

Sang pemimpin pasukan tampak melirik ke beberapa titik tersembunyi. Titik di atas dahan-dahan pohon dan menara pengawas. Di sana, beberapa prajurit panah Kamboja sudah siap dengan busur dan anak panahnya. Posisi mereka sangat tersembunyi. Jika tidak awas, siapa pun tidak bakal tahu jika ada orang yang tengah berada di sana. Begitu sudah yakin dengan apa yang mereka lihat, segera mereka memutar arah kuda dan menggebrak kudanya masing-masing meninggalkan pelabuhan. Di tengah hiruk-pikuk mereka yang tengah menjauh dari bibir pantai, kuda-kuda mereka melesat bagai anak panah, berkejaran, susul-menyusul.

Sedangkan di sana, di tengah laut selatan Kamboja, tujuh buah jung tempur sudah semakin dekat. Kini, bentuk ketujuh jung itu sudah sangat jelas terlihat dari pantai. Bendera besar bergambar surya, dengan umbul-umbul merah dan putih, berkelebat-kelebat tertiup angin. Dalam jarah beberapa puluh tombak dari pantai, rupanya sauh sudah di turunkan. Layar sudah tergulung semua. Tujuh jung itu berhenti bergerak. Disusul kemudian, dari dek setiap jung, keluar perahu-perahu kecil yang memuat pasukan tempur Majapahit. Perahu-perahu itu segera didayung menuju pantai. Kini, tak ada pemandangan lain di tepi Pelabuhan Prey Nokor kecuali berpuluh-puluh perahu kecil, dengan prajurit siap tempur di atasnya, yang tengah bergerak susul-menyusul ke daratan.

Begitu tiba di pantai, masing-masing prajurit melompat ke darat, bergerak dengan sigap, bertumpu pada salah satu lutut, sedangkan perisai diposisikan melindungi bagian badan. Berjajar-jajar dan susul menyusul mereka melakukan hal itu. Kini, di bibir pantai Prey Nokor, terlihat berderet-deret pasukan Majapahit dengan perisai besi melindungi tubuhnya. Prajurit yang turun belakangan segera ikut bersembunyi di belakang badan temannya yang terlindung perisai. Prajurit yang tengah berlindung adalah prajurit pemanah. Begitu mereka sudah dalam posisi aman, satu-dua dari mereka segera melepaskan anak panahnya. Terdengar jerit kesakitan diiringi beberapa tubuh yang terjatuh dari atas pohon atau menara pengawas.

Rupanya, beberapa prajurit panah Kamboja yang sudah siap di tempat tersembunyi untuk membidikkan anak panahnya telah didahului oleh prajurit panah Majapahit. Ada tujuh prajurit panah Kamboja yang tersungkur ke tanah dengan anak panah menancap di tubuh atau kepalanya.

Merunduk!” Menyusul terdengar suara lantang dari pemimpin prajurit Majapahit. Beberapa prajurit panah yang baru melepaskan anak panahnya segera bertiarap di belakang prajurit yang membawa tameng. Anak-anak panah meluncur ke arah mereka. Dan semua anak panah itu mental, tertangkis oleh tameng-tameng yang dipasang dalam formasi tertentu.
       
Begitu desingan anak panah sudah reda, terdengar teriakan keras:
       
“Bidik!”
       
Kini, prajurit panah yang baru saja berlindung di belakang prajurit yang membawa tameng, dengan gerakan luar biasa cepat, segera memasang anak panah pada busurnya. Dan ganti prajurit panah Majapahit kini melepaskan anak panah mereka ke beberapa titik. Dan benar! Begitu anak panah meluncur ke beberapa arah, satu-dua tubuh jatuh tersungkur dari atas dengan anak panah menembus badan mereka.
       
Seluruh prajurit lantas menunggu. Suasana hening dan sepi. Tak tampak lagi prajurit panah yang tersisa. Begitu dirasa aman, seorang prajurit mengibarkan bendera merah. Melihat bendera merah dikibarkan, menyusul dari arah lautan, perahu-perahu yang mengangkut meriam dan manjanik mulai dikeluarkan. Susul-menyusul perahu itu didayung ke tepian sembari membawa bêdhil gêdhe dan alat pelempar api itu.
       
Arya Gajah Para dan Arya Banyak Lêmpur turun dari jung, menaiki perahu dan dilindungi beberapa prajurit yang membentuk formasi melingkar dengan tameng. Perahu yang dinaiki Arya Gajah Para lebih dahulu bergerak, disusul perahu yang dinaiki Arya Banyak Lêmpur. Kesatria-kesatria Majapahit sudah mulai menjejak daratan Kamboja.
       
Meriam dan manjanik sudah naik ke daratan, disusul kemudian Arya Gajah Para, lantas Arya Banyak Lêmpur. Seluruh prajurit yang semula berjajar, dengan tameng-tameng yang melindungi tubuh mereka, kini telah bergerak ke atas. Di dermaga, mereka membentuk barisan. Ada sekitar lima ratus prajurit yang naik ke daratan. Namun, baru saja mereka membentuk barisan, mendadak dari arah berlawanan terdengar suara berderap riuh-rendah. Seluruh prajurit Majapahit waspada!
       
Ardhachandra wyuuha!” Arya Banyak Lêmpur yang memimpin dua ratus lima puluh prajurit segera berteriak lantang, memerintah dua ratus lima puluh prajurit Majapahit yang dipimpinnya untuk membentuk formasi perang ardhachandra wyuuha, yaitu formasi yang berbentuk melengkung bagaikan wujud rembulan sebelum purnama. Dengan sigap dan terlatih, seluruh prajurit Majapahit, di bawah pimpinan Arya Banyak Lêmpur, membentuk formasi tersebut. Beberapa orang berputar arah, posisi barisan terlihat melengkung dengan cekungan di tengah-tengah.
       
Samapta!” Kembali Arya Banyak Lêmpur berteriak, dan bunyi lutut menapak tanah diiringi suara tameng-tameng menghentak serempak terdengar. Kini, dalam posisi ardhachandra wyuuha, pasukan Majapahit di bawah pimpinan Arya Banyak Lêmpur meletakkan tameng-tameng di depan tubuh mereka dan posisi mereka berjongkok dengan salah satu lutut menapak tanah. Di atas tameng, tombak-tombak terarah ke depan dengan mantap. Luar biasa gerakan mereka, serempak dan terlatih.
       
Samapta!” Kini terdengar teriakan Arya Gajah Para, yang memimpin dua ratus prajurit yang sekarang posisinya ada di belakang prajurit Arya Banyak Lêmpur, yang terlebih dulu membentuk formasi ardhachandra wyuuha. Mendengar komando tersebut, dua ratus prajurit Arya Gajah Para segera menghunus pedangnya masing-masing. Bunyi besi terhunus terdengar bising. Kini, dengan tameng di depan tubuh dan pedang terhunus, dua ratus prajurit itu menunggu perintah selanjutnya.
       
Di belakang mereka ada lima puluh prajurit yang menjaga manjanik dan meriam. Mata prajurit Majapahit awas mengamati gerakan berderap dari arah depan. Telah terlihat, ratusan prajurit berkuda Kamboja tengah menyerbu mereka dengan pedang-pedang terhunus. Kuda-kuda mereka berlari kencang, berderap, meluncur menuju barisan prajurit Majapahit.
      
Prajurit Kamboja yang melaju sembari berteriak-teriak garang itu telah hampir sampai pada barisan prajurit Majapahit.  Seluruh prajurit Majapahit tetap berada dalam posisi masing-masing. Mata mereka awas. Tangan mereka telah siap menggerakkan senjata. Tinggal menunggu aba-aba.
       
Begitu prajurit Kamboja telah semakin dekat, Arya Banyak Lêmpur berteriak:
       
Hara, Hara, Hara Mahadewa!”
       
Barisan depan prajurit berkuda Kamboja menerjang barisan prajurit Majapahit. Dalam posisi ardhachandra wyuuha yang melengkung di tengah, pasukan Majapahit yang posisinya ada di tengah bergerak seolah minggir memberi jalan, namun dari sisi kiri dan kanan tombak-tombak prajurit Majapahit menukik menusuk lambung-lambung kuda prajurit Kamboja. Ringkikan kuda yang tertusuk tombak terdengar berselang-seling, disusul jerit kematian para penunggangnya yang terjatuh dan langsung disambut tombak-tombak tajam.
       
Sebentar saja, sudah berpuluh-puluh kuda terjerembap dan penunggangnya tewas tercacah tombak. Erangan kematian terdengar di mana-mana. Mereka yang bisa lolos dari jepitan pasukan tombak segera disambut tebasan pedang oleh prajurit Arya Gajah Para yang bersiap di belakang.
       
Bangkai kuda dan mayat prajurit Kamboja sebentar saja sudah tumpang-tindih di tanah, bermandikan darah segar. Ada yang bisa meloloskan diri, melompat dari punggung kuda, berguling di tanah, dan segera bangkit menyerang. Mereka yang selamat segera disambut oleh prajurit pedang Arya Gajah Para. Prajurit tombak terus melakukan gerakan mereka menusuk lambung, kaki, leher, dan paha dari kuda-kuda yang ditunggangi prajurit Kamboja yang terus datang menyerang. Yang tidak cepat melompat sudah pasti meregang nyawa terkena tombak. 


*****


Makhluk-makhluk yang terlahir di alam surga kadang kala masih juga ingin menembus batas dimensi antara surga dan bumi. Batas yang memisahkan antara kedua alam, batas yang hanya bisa ditembus pada waktu-waktu tertentu ketika jarak antara dua alam itu tengah berada dalam posisi sejajar. Alam surga sangat luas dan bertingkat-tingkat. Semakin ke atas semakin suci getarannya. Hanya roh-roh yang benar-benar terpilih yang mampu terlahir di alam surga tertinggi. Dan di surga terendah hanya dihuni oleh roh-roh yang berlimpah kebajikan, namun masih melekat pada keakuan yang tebal. Eloknya, sesuci apa pun alam surga itu, keberadaannya sama sekali tidak menunjang peningkatan kesadaran para penghuninya. Kenikmatan berlimpah yang tersedia membuat terhenti perjalanan jiwa mereka. Ketidaksetimbangan antara kegembiraan dan kesedihan, di mana kegembiraan lebih dominan, membuat jiwa mereka tidak berkembang.
       
Hanya alam manusia yang sesuai untuk perkembangan jiwa, karena di alam yang satu ini kegembiraan dan kesedihan datang silih berganti dalam kondisi seimbang. Inilah yang membuat beberapa penghuni surga berhasrat untuk terlahir di alam manusia. Ini pulalah yang mendorong beberapa penghuni alam surga, yaitu para dewa, yang memiliki kemampuan lebih, sesekali menembus dimensi alam manusia. Mereka ingin berkunjung untuk beberapa saat. Mereka menembus batas dua alam ketika kondisi tengah memungkinkan untuk itu, lalu secepatnya kembali ke alam surga jika tidak ingin celaka hidupnya. Kalaupun bisa selamat dan menyesuaikan diri dengan kondisi alam manusia, kelak dia harus terlahir di alam neraka jika batas kehidupan menemui mereka. Ya, harus terlahir ke alam bawah setelah mereka meninggal dunia. Sebuah alam yang mengerikan dan penuh penderitaan. Sebuah alam yang bertolak belakang dengan keadaan surga. Alam neraka adalah alam yang lebih dikuasai kesedihan daripada kebahagiaan, yang lebih dikuasai kebingungan daripada ketenangan. Dan dari alam itu, jika timbunan hasil perbuatan mereka menunjang, penuh berlimpah kebajikan, mereka bisa terlahir di alam surga kembali. Atau, jika timbunan kebajikan mereka sangat bagus, mereka bisa terlahir di alam manusia. Walaupun begitu, sesekali ada juga para dewa yang nekat berkunjung ke alam manusia. Mereka ingin sedikit bermain-main di alam istimewa ini.
       
Seperti pagi itu, seleret pelangi memancar di angkasa. Tak ada yang istimewa sebenarnya dari bentangan tujuh warna indah itu. Tak ada yang aneh dan unik. Namun, tidaklah begitu bagi yang awas mata batinnya. Di balik bentangan selendang surgawi itu, tampak beberapa tubuh tengah terbang di antara geraian cahaya pelangi. Tubuh-tubuh itu bergerak lambat, melayang meniti bias cahaya yang menjuntai ke bumi. Semakin mereka mendekat ke bumi, menuju alam manusia, semakin jelas terlihat wujud-wujud mereka. Tujuh wanita bertubuh ramping dan indah, tujuh makhluk penghuni surga paling bawah, tampak bergerak terus ke bumi. Kerlip mahkota yang mereka kenakan sesekali tertimpa cahaya mentari, cahaya yang terpancarkan ke dimensi alam manusia. Ini menunjukkan, tubuh-tubuh mereka mulai memadat, menyesuaikan dengan kondisi alam manusia untuk sementara waktu, walaupun tetap tak kasatmata bagi kebanyakan manusia.
     
Tujuh bidadari itu mendarat di bebatuan cadas besar yang bertebaran di pinggiran sendang di tengah hutan lebat. Satu per satu mereka menapakkan kaki di bebatuan. Yang sudah lebih dahulu mendarat tampak berseri-seri wajahnya, penuh ketakjuban melihat ke sekeliling. Sekarang mereka telah menginjakkan kaki di sini, di bumi, tempat yang istimewa ini. Mereka memilih tempat terpencil di tengah hutan belantara. Mereka semua tampak gembira dan takjub.
       
Tak ada satu pun cela dari wajah dan bentuk tubuh mereka. Tujuh makhluk surgawi ini sungguh sempurna. Wajah mereka yang cantik, dengan rambut panjang sepundak serta tubuh ramping yang begitu indah, membuat siapa saja yang mampu melihat perwujudan mereka akan mengira semuanya sama.
       
Salah satu di antara mereka terlihat berjongkok dari tempat mereka berdiri barusan. Tangan kanannya diulurkan untuk menyentuh air sendang yang terlihat sangat jernih. Begitu telapak tangannya menyentuh cairan bumi, tampak dia menikmati sensasi air yang ada di bumi, lantas tangannya bermain-main, mencakup air, memercik-mercikkannya. Mula-mula hanya percikan kecil, namun lama-lama, dengan girangnya dia menyiramkan air jernih itu ke tubuh teman-temannya. Tawa riang keluar dari mulutnya, disusul kemudian jeritan senang karena dirinya dibalas dengan percikan serupa oleh temannya. Tak lama kemudian, seorang dari mereka terbang rendah, telapak kakinya menapak air, seolah berdiri di atasnya, tubuhnya berputar perlahan. Kedua tangannya terentang ke samping, kepalanya mendongak ke angkasa dengan mata terpejam, rambut ikalnya tergerai. Dia tengah mereguk dan menikmati keindahan bumi, alam manusia ini.
       
Seorang lagi melesat lambat sambil membawa air dengan kedua tangannya yang dicakupkan, terbang mendekati salah satu temannya dan menjatuhkan cakupan air itu ke tubuh temannya. Yang mendapat siraman air menjerit, kemudian ikut terbang untuk mengambil air dengan cakupan tangannya. Dia mencoba mengejar yang barusan menyiram tubuhnya. Yang dikejar tertawa sembari terbang rendah, berputar-putar di atas sendang. Mereka pun terbang rendah berkejaran dengan tertawa-tawa.
       
Melihat kedua temannya berkejaran, keempat yang lain tak tinggal diam. Mereka pun segera terbang ke arah air, mencoba mencungkupkan kedua tangan untuk mengambil air jernih dan menyiramkan ke tubuh temannya. Yang kedahuluan terkena cipratan menjerit dan cepat membalasnya.
       
Tawa bercampur jeritan senang terdengar di sendang tengah hutan itu. Tubuh-tubuh semampai yang saling kejar tampak melayang di atas sendang, berputar-putar. Riuh rendah suara mereka menggema memenuhi segenap penjuru. Bagi telinga manusia biasa, semua itu hanya akan terdengar seperti suara angin yang bersiut-siut pelan. Kadang juga akan terdengar mirip suara cekikikan samar. Bagi manusia yang waspada batinnya, jelas dia akan peka dan sadar bahwa di daerah itu tengah tergelar kejadian yang menakjubkan.
       
Tak lama kemudian, salah satu makhluk surgawi itu mendarat, kemudian melepas busananya satu demi satu. Kini dia telanjang bulat! Sungguh luar biasa bentuk tubuhnya, tak ada cela sedikit pun. Kulitnya mulus dan bersih. Lalu ia terjun ke sendang. Tubuhnya langsung menyatu dengan air. Dia pun berenang dengan riang. Melihat hal itu, bergilir teman-temannya yang lain mendarat. Satu per satu mereka melepas busananya. Kemudian, dengan tubuh telanjang, mereka ikut menyusul temannya yang sudah bermain-main, berenang ke sana-kemari dalam limpahan air jernih yang menyegarkan. Kembali suara tawa terdengar di antara mereka. Begitu polos dan lugunya mereka, sepolos tubuh mereka yang tak lagi dibalut sehelai benang pun.
       
Keriangan dan keceriaan mereka membuat mereka lengah. Mereka tak menyadari jika di balik semak-semak, sepasang mata tengah mengamati. Sepasang mata yang takjub melihat pemandangan ajaib yang tergelar di depannya. Tak sekali pun mata itu berkedip. Semenjak tadi, si pemilik mata menikmati tubuh-tubuh indah beterbangan di atas sendang. Beterbangan dengan mudah dan entengnya, bagaikan seekor burung yang melayang-layang. Sulit untuk mempercayai apa yang terpampang di depan matanya. Namun demikian, otaknya akhirnya menerima juga bahwa apa yang terlihat di depannya adalah sesuatu yang nyata.
       
Pada awalnya, dia tengah berusaha mengejar seekor burung perkutut yang berpindah-pindah tempat bertengger. Sayup-sayup dia mendengar suara cekikikan diselingi jerit riang. Suara asing yang berasal dari sendang. Bergegas dia menghampiri sumber suara. Telinganya, yang sedari tadi menangkap jerit riang dan cekikikan samar, kini semakin lama semakin menangkap bentuk suara yang jelas. Mengendap-endap, dia menuju sumber suara. Dan dari balik semak-semak liar, dia begitu takjub melihat tujuh wanita yang tengah melayang-layang dan saling kejar. Lama baru dia bisa mempercayai bahwa pemandangan yang ditangkap matanya adalah nyata.
       
Hatinya bertanya-tanya, siapakah makhluk-makhluk cantik itu? Makhluk halus dari alam mana yang sungguh berani memasuki dimensi alam manusia sedemikian rupa? Keberanian atau kecerobohan? Walaupun dia belum mendapatkan jawaban, namun matanya terus mengamati pemandangan menakjubkan di depannya.
       
Dan, betapa berdesir darahnya manakala dia melihat seorang dari mereka mendarat, melepaskan busananya satu per satu, memampang tubuh telanjangnya yang aduhai. Tak sadar, sang pemilik mata menelan ludah. Pertunjukan keindahan tak berhenti sampai di situ, keenam wanita yang lain ternyata berbuat hal yang sama. Sungguh suatu pemandangan luar biasa baginya. Dia tak kuasa memalingkan pandangannya. Kini, dilihatnya tujuh wanita cantik itu berenang ke sana-kemari, berkejaran dengan riangnya. Sang pemilik mata itu sesak napasnya. Dadanya terus berdebar, dan kini bertambah kencang. Naluri lelakinya pun, mau tak mau, terbangkitkan.
       
Di tengah kecamuk perasaan yang hebat itu, mendadak tebersit pikiran liar di benaknya. Matanya nyalang mengawasi busana para wanita yang terserak di beberapa tempat. Dan matanya tertumbuk pada busana yang letaknya lebih ke pinggir. Dadanya berdebar kencang. Debar berahi lelaki yang memicu pikiran liarnya. Dilihatnya para wanita yang masih asyik saling kejar. Sesaat dia ragu, namun dorongan berahinya membuatnya bergerak mengendap. Didekatinya tumpukan busana yang terletak paling pinggir. Debar di dadanya semakin kencang. Setelah yakin keadaannya aman, dengan berjongkok dia berjalan ke arah busana yang terletak dua tombak di depannya, lalu meraihnya. Ada hawa aneh, hawa sejuk yang menempel di telapak tangannya. Sesaat dia merasa terkejut saat busana itu telah berada dalam genggamannya, namun waktu tak mengizinkan dirinya untuk berlama-lama. Cepat dia meraih busana itu, kemudian perlahan kembali ke tempatnya bersembunyi.
       
Banyak semak dan tumbuhan perdu di sana, sehingga sangat membantunya untuk bersembunyi. Di tempat persembunyian, dengan dada yang masih berdebar tak karuan, diamatinya busana aneh yang ada di dalam genggamannya. Terlihat sangat lain! Terasa hawa sejuk memancar dari sana, yang belum pernah dirasakannya pada bahan kain yang lain. Tenunannya sangat halus, corak warnanya lembut tapi indah. Sedikit mirip busana para putri kerajaan, namun bahan dan buatannya jauh lebih bagus. Yang pasti, ini bukan buatan tangan manusia.
       
Pemuda itu beringsut, perlahan meninggalkan tempat semula. Setelah berjarak sekitar dua puluh tombak dari sendang, setelah sedemikian banyak pohon besar melindungi tubuhnya, dia berbalik arah, lalu setengah berlari menyusuri jalan setapak yang membelah hutan lebat itu.
       
Tujuh makhluk surgawi itu masih larut dalam kegembiraannya. Di antara mereka kini ada yang telah mentas dari air, lantas menengkurap di permukaan batu cadas yang cukup luas. Tubuh indahnya begitu jelas terlihat, terpampang sedemikian sempurna tanpa sehelai benang pun, menambah keindahan suasana.
           
Waktu bergulir tanpa terasa. Matahari semakin condong ke barat. Salah seorang wanita yang masih berada di dalam air mendadak memekik. Sebuah pekikan yang aneh. Terlihat dia berbicara, entah apa yang diucapkannya. Bahasa yang keluar dari mulutnya terdengar sangat asing, dengan suara yang sedikit mendengung dan lirih. Beberapa temannya mulai tersadar tentang batas waktu. Mereka menatap ke angkasa, lalu bergegas mentas dari air, menuju ke arah busana masing-masing dan mulai mengenakannya kembali.
           
Di tengah kesibukan mereka mengenakan busana, ada seorang yang tampak kebingungan. Dia tengah mencari-cari sesuatu. Dan kebingungannya menarik perhatian semua temannya. Segera mereka berkumpul mengerumuninya. Mereka lalu memekik, terkejut ketakutan. Suasana langsung berubah. Dengan bahasa yang aneh, mereka lalu berdebat. Perdebatan tak berlangsung lama sebab dua dari mereka melayang ke angkasa dengan tergesa-gesa. Empat dari mereka masih termangu, tak tega melihat temannya yang kehilangan busana, namun akhirnya tiga orang dari mereka pun melayang menyusul temannya yang lebih dahulu terbang.
           
Kini tinggal dua orang yang tertinggal di tepi sendang itu. Yang seorang telah rapi berbusana dan siap terbang, namun yang seorang lagi masih telanjang bulat, duduk memeluk lutut, menyembunyikan payudara dan kelaminnya. Ada keraguan dari yang sudah mengenakan busana untuk terbang, tetapi mau tak mau dia pun harus terbang menyusul temannya yang lain sembari mengamati temannya yang tertinggal di bumi tanpa busana.
           
Kini, suasana sendang, yang semula ramai dengan tawa canda, berubah lengang. Sunyi dan senyap. Tempat itu baru saja dipenuhi wanita-wanita cantik yang berkejaran. Kini yang ada hanya sosok tubuh yang terpaksa ditinggalkan oleh teman-temannya, ditemani kesenyapan yang meraja. Sosok telanjang bulat itu masih duduk memeluk lutut. Wajahnya tertunduk. Terdengar isak tangis yang tertahan darinya. Makhluk surgawi itu menangis. Tangisannya hanya ditemani kesunyian. Wajah cantiknya menengadah, menatap angkasa. Dari mulutnya terdengar desisan halus, kemudian dalam Bahasa Sanskerta yang jelas, dia berkata:
           
“Wahai makhluk bumi, siapa pun kamu yang bisa menolongku, atau setidaknya memberikan pakaian untukku yang telanjang ini, kalau wanita maka akan kujadikan saudara, dan kalau lelaki maka akan kupasrahkan jiwa ragaku kepadamu.”


Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=496727806975

» Selengkapnya...

BEDAH BUKU: PAJANG Pergolakan Spiritual, Politik, dan Budaya karya Martin Moentadhim S.M.

BEDAH BUKU:
PAJANG Pergolakan Spiritual, Politik, dan Budaya
(RUMAH BUDAYA BETHARI SRI)
Sabtu, 29 Januari 2011



PAJANG MERUPAKAN sejarah yang memiliki peran penting dalam perkembangan sejarah Jawa. Namun, hingga kini, Kerajaan Pajang seperti tertutup sesuatu yang sangat luar biasa. Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang “gelap’. Tengok saja bagaimana kisah ini seharusnya:

”Ki Ageng Pengging punya dua putra: Ki Kebo Kenanga dan Ki Kebo Kanigara. Ki Kebo Kenanga—sebagai penerus ayahnya menjadi adipati di Pengging—telah memeluk agama Islam ajaran Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang). Ajaran Islam ini tidak disukai oleh kelompok Wali Sanga yang mendukung kepemimpinan Demak. Aliran itu dianggap sebagai aliran sesat, yang dikenal dengan aliran jumbuhing kawula gusti.”

”Dalam ajaran mistik Jawa, kata-kata jumbuhing kawula gusti (menyatunya hamba dan tuan) melukiskan tujuan tertinggi dalam hidup manusia, yaitu tercapainya kesatuan yang sesungguhnya (manunggal) dengan Tuhan. Uraian yang lebih rumit lagi karena kata kawula dan gusti menunjukkan status manusia yang paling rendah dan paling tinggi di dalam masyarakat.”

”Dalam pemikiran orang Jawa, kesatuan kawula-gusti dilambangkan sebagai keris. Kedua bagian keris: sarungnya (warangka) dan matanya (curiga) diberi penafsiran yang sangat bersifat mistik. Sarung disamakan dengan manusia dan matanya disamakan dengan Tuhan. Jadi melukiskan hubungan yang mutlak ada, yang satu tidak sempurna tanpa kehadiran yang lain.”

”Penyerangan dari Demak di daerah pesisir ke Pengging di daerah pedalaman ini merupakan kelanjutan proses pergerakan islamisasi dari para wali di daerah pesisir utara Jawa. Perlu dipahami bahwa masyarakat pedalaman pada saat itu masih kental dengan kepercayaan agama Hindunya atau masih ’kafir’.”

Bagaimana anda menyikapi salah satu ulasan ini? Benarkah seperti itu?

Kami, YAYASAN KERTAGAMA Mengundan Bapak/Ibu/Saudra/Saudari untuk hadir dalam acara Bedah Buku: PAJANG Pergolakan Spiritual, Politik, dan Budaya karya Martin Moentadhim S.M.

Dengan menghadirkan:

PENULIS/NARASUMBER:
Martin Muntadhim S.M

PEMBICARA:
Prapto Yuwono
Pembicara: Pengamat Sejarah Pajang—Sastra Jawa UI)

Harto Yuwono
Pengamat Sejarah Pajang—Sejarah UI)

MODERATOR
Handoko F Zainsam

Pada

Hari/Tanggal:
Sabtu, 29 Januari 29 Januari 2011

Waktu:
10.00 – 13.00

Tempat :
Rumah Budaya Bethari Sri
Jln. Ampera Raya No.11
Jakarta Selatan (Depan MEDCO)

Atas kehadirannya, Kami mengucapkan Terimakasih. Semoga sumbangsih pemikiran kita semua, mampu memberikan masukan sejarah dan pemikiran masa lalu untuk menyongsong masa sepan Indonesia.


Sumber: (Catatan Handoko F Zainsam)  
              (http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150142412845465)

» Selengkapnya...

LOMBA MENULIS FLASH FICTION TENTANG PENGAMEN

Para Pengamen atau musisi jalanan sering dipandang dengan sebelah mata. Padahal ada banyak alasan dan polemik tentang keberadaan mereka. Hadirnya novel 'Pengamen Cinta (plus bonus CD PARAMETEUR Band)' yang baru diterbitkan Leutika Prio ini adalah salah satu upaya untuk membuat mata kita lebih terbuka. Bahwa anak-anak jalanan dan para pengamen juga memiliki kelebihan, bakat-bakat terpendam dan cita-cita. Buktinya, sebut saja Iwan Fals atau Klantink. Mereka juga berasal dari jalanan bukan?

Punya pengalaman atau kisah tentang pengamen? Atau mau coba berimajinasi menjadi pengamen jalanan? Mari tuangkan ke dalam tulisan Flash Fiction dengan tema kisah cinta para pengamen. Bukan hanya untuk mengasah kreatifitas, tapi dengan mengikuti lomba ini, kita juga bisa sekalian beramal, plus mendapat hadiah dan menjadi salah satu penulis antologi Flash Fiction yang akan diterbitkan Leutika Prio. Baca persyaratan dan ketentuannya.

Syarat Peserta:
  • Terdaftar sebagai anggota Grup PARAMETEUR Band, Halaman Ceko dan Halaman Leutika Publisher Fans. Yang belum gabung, silahkan join dulu. Caranya klik:





Ketentuan Tulisan:
  • Tema tulisan: kisah tentang  cinta, persahabatan atau keluarga Musisi Jalanan
  • Panjang tulisan antara 300-500 kata
  • Memasang cover novel 'Pengamen Cinta' yang diterbitkan Leutika Prio pada materi lomba ini
  • Posting /copy paste materi lomba, lalu tag minimal 25 orang
  • Kirim tulisan (sebagai attachment/tidak menaruhnya di badan email) ke cekospy@yahoo.com   (sertakan nama, lengkap alamat, no telpon yang bisa dihubungi, dan nomor rekening) dengan SUBJECT: LOMBA FF PENGAMEN CINTA paling lambat tanggal 31 Januari 2011 pukul 11:59. 
  • Masing-masing peserta boleh mengirim maksimal 2 Flash Fiction

Hadiah:
  • Paket Buku dari Leutika Publisher (untuk 1 orang pemenang)
  • Uang tunai senilai Rp.150.000 (untuk 1 orang pemenang)
  • Semua FF yang masuk, baik menang ataupun tidak, akan dipertimbangkan untuk dibukukan oleh Penerbit Leutika Prio dan royalti buku akan disumbangkan ke Yayasan sosial, panti-panti atau anak-anak jalanan.

Pengumuman Pemenang Tanggal 13 Februari 2011

Juri:
  • Ceko (Penulis Novel Pengamen Cinta)
  • Redaksi Leutika Prio

Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=495385663345

» Selengkapnya...

KEDAI BUKU ERA FACEBOOK

www.visikata.com

Oleh: Damhuri Muhammad 

(versi panjang dari esai yang tersiar di majalah DEWI edisi  Desember 2010, dengan tajuk "fiksi era maya")


Di penghujung September 2010, komunitas sastra “Lerengmedini” menggelar bedah buku kumpulan cerpen Tangan Untuk Utik (2009), karya Bamby Cahyadi. Tidak seperti diskusi buku pada lazimnya, komunitas yang bermarkas di Boja, Kendal (Jateng) itu menyelenggarakannya secara teleconference-webcam dengan fasilitas yahoo messenger (YM) dan box chat  facebook, yang dilayar-lebarkan. Para penyuka sastra di Boja leluasa bertanya-jawab dengan Bamby Cahyadi yang berada di Jakarta. Begitu juga dengan para penanggap yang berdomisili di Swiss, Jerman, dan Hongkong. Modus baru apresiasi sastra di jaman internet, yang tak terbayangkan sebelumnya.

Bedah buku ala komunitas “Lerengmedini”  terbilang unik, hingga buku TUU itu beroleh perhatian, setidaknya dari sisi kerja pengarangnya mengembangkan jaringan ke kantong-kantong pembaca sastra di daerah. Usia kepengarangan Bamby terbilang muda di ranah cerpen Indonesia, tapi ketelatenan self-marketing-nya membuat ia cepat melesat, hingga karya-karyanya berhamburan di sejumlah media nasional. Cerpenis yang berprofesi sebagai store manager restoran fastfood itu serius memperjuangkan karyanya. Sejak TUU terbit, sudah belasan kali ia menggelar diskusi, tak hanya di komunitas-komunitas sastra ibukota, tapi juga di Malang, Yogyakarta, dan Tasikmalaya. Semuanya ia upayakan sendiri, tanpa dukungan penerbit. Hasilnya menggembirakan. Bukan saja dari segi pencitraannya sebagai cerpenis, tapi juga dari sisi penjualan yang di atas rata-rata. Bamby tak segan menawarkan bukunya sendiri, dengan iming-iming tanda-tangan pengarang, tentunya. Setiap hari ia menyiarkan informasi seputar TUU di dinding facebook-nya. Saking dekatnya ia dengan pembaca, fans Bamby tak keberatan mengganti foto profil mereka dengan sampul TUU.

Mengamati trend ini, penerbit-penerbit yang concern di buku-buku sastra akan berpikir dua kali untuk meloloskan naskah dari pengarang yang sudah punya nama. Mengingat prospek penjualan buku cerpen terbilang payah, nama besar bisa saja diabaikan. Sebab, pasca-turun cetak, mereka hanya duduk-diam, menunggu kiriman royalti. Paling banter mereka hanya muncul saat launching, itupun kalau ada. Selepas itu, promosi bulat-bulat diserahkan kepada penerbit. Maka, memilih naskah karya cerpenis muda seperti Bamby akan lebih menjanjikan.

Di sepanjang tahun 2010, ada sejumlah buku sastra jenis prosa yang terpajang di rak-rak toko buku, dengan tema dan gagasan yang beragam, meski apresiasi dari pembaca belum bisa dikatakan memadai. Sebutlah misalnya,  Klop (kumcer), karya Putu Wijaya, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (kumcer) karya Agus Noor, Rahasia Selma (kumcer) karya Linda Christanty, Balada Ching-Ching (kumcer) karya Maggie Tiojakiu, Mantra Maira,  (kumcer), karya Sofie Dewayani, Ciuman di Bawah Hujan (novel) karya Lan Fang, Arumdalu (novel) karya Junaedi Setiyono, Manjali dan Cakrabirawa (novel karya) Ayu Utami, dan  Dwilogi Padang Bulan (novel) karya Andrea Hirata.

Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia termasuk buku yang banyak dibincang media dan forum-forum diskusi. Selain cerpenis prolifik, seniman multi-talenta ini juga rajin melakukan self-marketing seperti Bamby. Ia punya weblog yang selalu menginformasikan kabar terkini perihal karya-karyanya. Belakangan, Agus Noor juga menggagas genre fiksi-mini di twitter, dan beroleh sambutan hangat. Selain cerpen, ia menulis skenario program TV, naskah teater, dan kerap menyutradarai performing art. Daya tarik SBPID terasa pada eksperimentasi berkisah yang seolah tiada habis-habis, dan mungkin tidak ditemukan pada buku cerpen lain. SBPID masuk dalam daftar 5 Besar Khatulistiwa Literary Award 2010, penghargaan sastra yang disebut-sebut paling gemuk hadiahnya (100 juta). Buku itu bersaing dengan Rahasia Selma (2010), karya Linda Christanty, Kekasih Marionette (2009) karya Dewi Ria Utari, 9 dari Nadira (2009) karya Leila. S Chudori, dan  Klop (2010) karya Putu Wijaya. Berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini nominee kategori prosa didominasi kumpulan cerpen. Data hasil penjurian yang dilakukan oleh orang-orang yang expert di bidang sastra itu, setidaknya dapat memperkuat posisi tawar buku kumpulan cerpen yang kerap dipandang sebelah mata, lantaran susah dijual.
                        
Mantra Maira (Sofie Dewayani) dapat dikatakan sebagai buku sastra yang menawarkan warna baru. Mantra Maira terbuhul dengan tema masyarakat urban (asal Indonesia) di AS. Sofie Dewayani yang saat ini tinggal di Urbana, AS, membincang problem identitas keindonesiaan dari perspektif perantau Indonesia di negeri Paman Sam. Tokoh-tokoh rekaannya sedemikian rapuh, goyah, dan tak sanggup bertahan sebagai orang Indonesia di Amerika, lalu bermunculan sejumlah siasat untuk menyembunyikan identitas tanah asal. Garapan semacam ini mengingatkan kita pada karya-karya Hanif Khureisi─novelis Inggris asal Pakistan─seperti  Buddha of  Suburbia maupun Midnight All Day. Namun, Mantra Maira dingin-dingin saja, entah karena temanya terlalu berat, penulisnya sibuk menyelesaikan disertasi doktornya, atau penerbitnya yang setengah hati merancang strategi promosi. 

Selain itu muncul pula corak lain dari cerpenis muda Benny Arnas lewat bukunya Bulan Celurit Api (2010). Tampil dengan warna lokal yang kental, dari sayap etnis Melayu Lubuklinggau, Sumsel. Mendekonstruksi kemapanan adat, mencairkan kebekuan nilai yang taken for granted, dan memaklumatkan bahwa kearifan lokal yang diagung-agungkan itu bukan “benda”, melainkan “peristiwa”, yang terus berubah, dan karena itu selalu  ditunda tafsir tunggalnya. Benny juga memperlihatkan militansi kepengarangan sebagaimana Bamby. Awal Oktober 2010 bukunya turun-cetak, tapi sejak September 2010 ia sudah melakukan direct selling via facebook. Hasilnya  spektakuler untuk ukuran buku sastra, 100 exp BCA  telah terjual, tiga minggu sebelum buku terbit. Pemesanan langsung berdatangan dari Jakarta, Aceh, Makassar, Kalimatan, Yogyakarta, Padang, Medan.  Kabar terkini yang saya terima, Bulan Celurit  Api, bakal cetak-ulang, padahal launching-nya baru akan digelar akhir November mendatang. Ini pun kabar baik bagi sastra Indonesia, khususnya genre cerpen. Mungkin itu sebabnya, sejumlah penerbit yang sebelumnya concern di buku jenis fiksi-islami, kini melirik cerpen sastra. FLP Publishing misalnya, tahun ini menerbitkan Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu (Ragdi F Daye) setelah Cari Aku di  Canti (2008) karya Wa Ode Wulan Ratna, dan Pengantin Subuh (2009), karya Zelfemi Wimra. 

Buku sastra jenis novel agak melemah, baik dari segi produktifitas, aspek kebaruan tema, pencapaian literer, maupun grafik penjualan. Ciuman di Bawah Hujan (Lan Fang) misalnya, meski sebelumnya telah tersiar sebagai Cerbung di sebuah harian nasional, belum terdengar gaungnya. Begitu pula dengan Arumdalu  (Junaedi Setiyono), novel berlatar sejarah laskar Dipanegaran yang bagian pertamanya (Glonggong) menjadi salah satu pemenang sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta, belum berhasil menangguk perhatian pembaca.  Kalaupun ada yang tampak menonjol, itu tidak jauh dari novel jenis “how to”, yang lebih mengedepankan aspek didaktik ketimbang pencapaian estetik. Negeri 5 Menara karya A. Fuadi misalnya, meskipun diluncurkan pada 2009, popularitasnya terus menanjak hingga kini. Penjualannya tentu tak disangsikan, tapi secara estetik, novel ini sukar untuk menjadi bagian dari proses kreatif sastra, yang tegak di atas fondasi estetika. N5M  seolah muncul sebagai Laskar Pelangi dengan wajah baru. Lebih mengejar kekuatan motivasi ketimbang kedalaman gagasan estetik. Motto “man jadda wajada”─terminologi khas pondok modern Gontor, latar tempatan novel itu─yang digembar-gemborkan pengarangnya, membuat ia tampak sebagai motivator ketimbang sastrawan. Lantaran sambutan yang begitu semarak terhadap serial “how to” berkedok karya sastra itu, tengoklah novel-novel bersemangat serupa yang menyesak di toko buku. Para pengekor menangguk laba, sementara unsur-unsur artistik sastra terdistorsi. Buku laku memang tidak berbanding lurus dengan buku bermutu.

Lain halnya dengan dwilogi Padang Bulan, novel terkini Andrea Hirata. Meski masih bergelimang mimpi, harapan, dan obsesi masa depan, novel itu menawarkan kesadaran literer yang berkedalaman. Dengan teknik pengisahan yang dibumbui satirisme khas Melayu, Andrea berupaya memancangkan jejak pikiran, ketimbang sekadar jejak tindakan.  Enong, Ikal, dan Detektif M. Nur adalah karakter orang-orang yang terjangkit gejala keterpelantingan eksistensial, mengingatkan kita pada Eliza, Rose, dan Tao Chien, tokoh-tokoh marjinal dalam The Daughter of Fortune (1999) karya Isabel Allende. Lantaran sukses Laskar Pelangi yang penjualannya nyaris mencapai 1 juta eks, menawarkan corak baru dalam proses kreatif tentulah peluang yang terbuka. Andrea tidak akan sesibuk Bamby dan Benny, dalam merebut perhatian pembaca. Tapi, bukankah setiap pengarang patut memperjuangkan setiap karyanya?

Sumber: Catatan Damhuri Muhammad di facebook
(http://www.facebook.com/note.php?note_id=487696341462)

» Selengkapnya...

Masukan Alamat Emailmu Di Sini:

Pengikut