Oleh Salahuddin Gz
Lihatlah aku di sini. Dengan perwujudanku yang bersahaja. Dengan perutku yang besar. Dengan kuncungku yang terangkat ke atas. Dengan tanganku yang senantiasa menunjuk. Aku melihat mendung hitam mulai menangkupi Nusantara. Aku mencium bau anyir kematian di sana. Dan aku mendengar jerit penderitaan. Bumi ini akan segera memerah karena darah yang tumpah. Pasukan dari seberang akan datang menciptakan kekelaman. Pasukan yang sejatinya berasal dari awan putih, namun entah mengapa berubah menjadi mega hitam kematian.
Semua itu tak lepas dari karma penghuni Nusantara. Yang telah lalai disebabkan kemegahan para leluhurnya. Kesemena-menaan, keangkuhan, kesombongan telah meraja. Pasukan dari seberang itu yang akan membalaskan karma dengan setimpal. Karena itu, aku akan mewujud di bumi Nusantara sebagai sosok manusia biasa. Agar manakala perubahan itu terjadi, tidak banyak darah tertumpah menggenangi persada. Namun sesudahnya, aku akan meninggalkan Nusantara dalam jangka lima ratus tahun.
Manakala alam telah menggeliat karena sudah tak lagi mampu menampung dekap mendung kematian, saat itulah pertanda bahwa aku akan kembali ke Nusantara. Kini aku telah bangun dari tidur panjangku. Dan aku telah siap untuk mengejawantah!
Hiruk-pikuk kegiatan perniagaan kini berubah menjadi teriakan yang memperingatkan teman yang lain, bentakan agar segera melepas sauh, atau makian karena beberapa orang tak sengaja menghalangi tubuh mereka yang hendak berusaha menyelamatkan diri. Tubuh-tubuh itu berhamburan dari dermaga. Ada yang masih melompat turun dari jung. Ada yang tengah sibuk mengangkat sauh. Ada yang sudah berlari ke daratan. Suasana kacau-balau.
Disusul dari arah berlawanan, beberapa kuda dipacu kencang menuju pelabuhan. Tampak beberapa prajurit Kamboja datang untuk memastikan sendiri kabar yang telah diterima dari petugas pelabuhan. Ada sekitar sepuluh prajurit yang memacu kudanya mendekat ke dermaga. Dan begitu sudah sedemikian dekat dengan pantai, mereka memperhatikan dengan saksama ke arah selatan. Di tengah lautan tampak tujuh buah jung, satu berukuran besar dan enam berukuran sederhana, merapat ke Prey Nokor. Kini, tanpa memerlukan kaca pembesar berbentuk teropong, mata telanjang mereka sudah bisa melihat bendera bergambar surya berkibar di atas jung-jung itu. Ditambah dengan bentangan kain merah dan putih yang melambai-lambai ditiup angin barat, seluruh prajurit Kamboja sudah yakin, jung-jung yang hendak merapat ke pelabuhan itu tak lain adalah jung-jung tempur Majapahit.
Sang pemimpin pasukan tampak melirik ke beberapa titik tersembunyi. Titik di atas dahan-dahan pohon dan menara pengawas. Di sana, beberapa prajurit panah Kamboja sudah siap dengan busur dan anak panahnya. Posisi mereka sangat tersembunyi. Jika tidak awas, siapa pun tidak bakal tahu jika ada orang yang tengah berada di sana. Begitu sudah yakin dengan apa yang mereka lihat, segera mereka memutar arah kuda dan menggebrak kudanya masing-masing meninggalkan pelabuhan. Di tengah hiruk-pikuk mereka yang tengah menjauh dari bibir pantai, kuda-kuda mereka melesat bagai anak panah, berkejaran, susul-menyusul.
Sedangkan di sana, di tengah laut selatan Kamboja, tujuh buah jung tempur sudah semakin dekat. Kini, bentuk ketujuh jung itu sudah sangat jelas terlihat dari pantai. Bendera besar bergambar surya, dengan umbul-umbul merah dan putih, berkelebat-kelebat tertiup angin. Dalam jarah beberapa puluh tombak dari pantai, rupanya sauh sudah di turunkan. Layar sudah tergulung semua. Tujuh jung itu berhenti bergerak. Disusul kemudian, dari dek setiap jung, keluar perahu-perahu kecil yang memuat pasukan tempur Majapahit. Perahu-perahu itu segera didayung menuju pantai. Kini, tak ada pemandangan lain di tepi Pelabuhan Prey Nokor kecuali berpuluh-puluh perahu kecil, dengan prajurit siap tempur di atasnya, yang tengah bergerak susul-menyusul ke daratan.
Begitu tiba di pantai, masing-masing prajurit melompat ke darat, bergerak dengan sigap, bertumpu pada salah satu lutut, sedangkan perisai diposisikan melindungi bagian badan. Berjajar-jajar dan susul menyusul mereka melakukan hal itu. Kini, di bibir pantai Prey Nokor, terlihat berderet-deret pasukan Majapahit dengan perisai besi melindungi tubuhnya. Prajurit yang turun belakangan segera ikut bersembunyi di belakang badan temannya yang terlindung perisai. Prajurit yang tengah berlindung adalah prajurit pemanah. Begitu mereka sudah dalam posisi aman, satu-dua dari mereka segera melepaskan anak panahnya. Terdengar jerit kesakitan diiringi beberapa tubuh yang terjatuh dari atas pohon atau menara pengawas.
Rupanya, beberapa prajurit panah Kamboja yang sudah siap di tempat tersembunyi untuk membidikkan anak panahnya telah didahului oleh prajurit panah Majapahit. Ada tujuh prajurit panah Kamboja yang tersungkur ke tanah dengan anak panah menancap di tubuh atau kepalanya.
Merunduk!” Menyusul terdengar suara lantang dari pemimpin prajurit Majapahit. Beberapa prajurit panah yang baru melepaskan anak panahnya segera bertiarap di belakang prajurit yang membawa tameng. Anak-anak panah meluncur ke arah mereka. Dan semua anak panah itu mental, tertangkis oleh tameng-tameng yang dipasang dalam formasi tertentu.
Begitu desingan anak panah sudah reda, terdengar teriakan keras:
“Bidik!”
Kini, prajurit panah yang baru saja berlindung di belakang prajurit yang membawa tameng, dengan gerakan luar biasa cepat, segera memasang anak panah pada busurnya. Dan ganti prajurit panah Majapahit kini melepaskan anak panah mereka ke beberapa titik. Dan benar! Begitu anak panah meluncur ke beberapa arah, satu-dua tubuh jatuh tersungkur dari atas dengan anak panah menembus badan mereka.
Seluruh prajurit lantas menunggu. Suasana hening dan sepi. Tak tampak lagi prajurit panah yang tersisa. Begitu dirasa aman, seorang prajurit mengibarkan bendera merah. Melihat bendera merah dikibarkan, menyusul dari arah lautan, perahu-perahu yang mengangkut meriam dan manjanik mulai dikeluarkan. Susul-menyusul perahu itu didayung ke tepian sembari membawa bêdhil gêdhe dan alat pelempar api itu.
Arya Gajah Para dan Arya Banyak Lêmpur turun dari jung, menaiki perahu dan dilindungi beberapa prajurit yang membentuk formasi melingkar dengan tameng. Perahu yang dinaiki Arya Gajah Para lebih dahulu bergerak, disusul perahu yang dinaiki Arya Banyak Lêmpur. Kesatria-kesatria Majapahit sudah mulai menjejak daratan Kamboja.
Meriam dan manjanik sudah naik ke daratan, disusul kemudian Arya Gajah Para, lantas Arya Banyak Lêmpur. Seluruh prajurit yang semula berjajar, dengan tameng-tameng yang melindungi tubuh mereka, kini telah bergerak ke atas. Di dermaga, mereka membentuk barisan. Ada sekitar lima ratus prajurit yang naik ke daratan. Namun, baru saja mereka membentuk barisan, mendadak dari arah berlawanan terdengar suara berderap riuh-rendah. Seluruh prajurit Majapahit waspada!
“Ardhachandra wyuuha!” Arya Banyak Lêmpur yang memimpin dua ratus lima puluh prajurit segera berteriak lantang, memerintah dua ratus lima puluh prajurit Majapahit yang dipimpinnya untuk membentuk formasi perang ardhachandra wyuuha, yaitu formasi yang berbentuk melengkung bagaikan wujud rembulan sebelum purnama. Dengan sigap dan terlatih, seluruh prajurit Majapahit, di bawah pimpinan Arya Banyak Lêmpur, membentuk formasi tersebut. Beberapa orang berputar arah, posisi barisan terlihat melengkung dengan cekungan di tengah-tengah.
“Samapta!” Kembali Arya Banyak Lêmpur berteriak, dan bunyi lutut menapak tanah diiringi suara tameng-tameng menghentak serempak terdengar. Kini, dalam posisi ardhachandra wyuuha, pasukan Majapahit di bawah pimpinan Arya Banyak Lêmpur meletakkan tameng-tameng di depan tubuh mereka dan posisi mereka berjongkok dengan salah satu lutut menapak tanah. Di atas tameng, tombak-tombak terarah ke depan dengan mantap. Luar biasa gerakan mereka, serempak dan terlatih.
“Samapta!” Kini terdengar teriakan Arya Gajah Para, yang memimpin dua ratus prajurit yang sekarang posisinya ada di belakang prajurit Arya Banyak Lêmpur, yang terlebih dulu membentuk formasi ardhachandra wyuuha. Mendengar komando tersebut, dua ratus prajurit Arya Gajah Para segera menghunus pedangnya masing-masing. Bunyi besi terhunus terdengar bising. Kini, dengan tameng di depan tubuh dan pedang terhunus, dua ratus prajurit itu menunggu perintah selanjutnya.
Di belakang mereka ada lima puluh prajurit yang menjaga manjanik dan meriam. Mata prajurit Majapahit awas mengamati gerakan berderap dari arah depan. Telah terlihat, ratusan prajurit berkuda Kamboja tengah menyerbu mereka dengan pedang-pedang terhunus. Kuda-kuda mereka berlari kencang, berderap, meluncur menuju barisan prajurit Majapahit.
Prajurit Kamboja yang melaju sembari berteriak-teriak garang itu telah hampir sampai pada barisan prajurit Majapahit. Seluruh prajurit Majapahit tetap berada dalam posisi masing-masing. Mata mereka awas. Tangan mereka telah siap menggerakkan senjata. Tinggal menunggu aba-aba.
Begitu prajurit Kamboja telah semakin dekat, Arya Banyak Lêmpur berteriak:
“Hara, Hara, Hara Mahadewa!”
Barisan depan prajurit berkuda Kamboja menerjang barisan prajurit Majapahit. Dalam posisi ardhachandra wyuuha yang melengkung di tengah, pasukan Majapahit yang posisinya ada di tengah bergerak seolah minggir memberi jalan, namun dari sisi kiri dan kanan tombak-tombak prajurit Majapahit menukik menusuk lambung-lambung kuda prajurit Kamboja. Ringkikan kuda yang tertusuk tombak terdengar berselang-seling, disusul jerit kematian para penunggangnya yang terjatuh dan langsung disambut tombak-tombak tajam.
Sebentar saja, sudah berpuluh-puluh kuda terjerembap dan penunggangnya tewas tercacah tombak. Erangan kematian terdengar di mana-mana. Mereka yang bisa lolos dari jepitan pasukan tombak segera disambut tebasan pedang oleh prajurit Arya Gajah Para yang bersiap di belakang.
Bangkai kuda dan mayat prajurit Kamboja sebentar saja sudah tumpang-tindih di tanah, bermandikan darah segar. Ada yang bisa meloloskan diri, melompat dari punggung kuda, berguling di tanah, dan segera bangkit menyerang. Mereka yang selamat segera disambut oleh prajurit pedang Arya Gajah Para. Prajurit tombak terus melakukan gerakan mereka menusuk lambung, kaki, leher, dan paha dari kuda-kuda yang ditunggangi prajurit Kamboja yang terus datang menyerang. Yang tidak cepat melompat sudah pasti meregang nyawa terkena tombak.
*****
Makhluk-makhluk yang terlahir di alam surga kadang kala masih juga ingin menembus batas dimensi antara surga dan bumi. Batas yang memisahkan antara kedua alam, batas yang hanya bisa ditembus pada waktu-waktu tertentu ketika jarak antara dua alam itu tengah berada dalam posisi sejajar. Alam surga sangat luas dan bertingkat-tingkat. Semakin ke atas semakin suci getarannya. Hanya roh-roh yang benar-benar terpilih yang mampu terlahir di alam surga tertinggi. Dan di surga terendah hanya dihuni oleh roh-roh yang berlimpah kebajikan, namun masih melekat pada keakuan yang tebal. Eloknya, sesuci apa pun alam surga itu, keberadaannya sama sekali tidak menunjang peningkatan kesadaran para penghuninya. Kenikmatan berlimpah yang tersedia membuat terhenti perjalanan jiwa mereka. Ketidaksetimbangan antara kegembiraan dan kesedihan, di mana kegembiraan lebih dominan, membuat jiwa mereka tidak berkembang.
Hanya alam manusia yang sesuai untuk perkembangan jiwa, karena di alam yang satu ini kegembiraan dan kesedihan datang silih berganti dalam kondisi seimbang. Inilah yang membuat beberapa penghuni surga berhasrat untuk terlahir di alam manusia. Ini pulalah yang mendorong beberapa penghuni alam surga, yaitu para dewa, yang memiliki kemampuan lebih, sesekali menembus dimensi alam manusia. Mereka ingin berkunjung untuk beberapa saat. Mereka menembus batas dua alam ketika kondisi tengah memungkinkan untuk itu, lalu secepatnya kembali ke alam surga jika tidak ingin celaka hidupnya. Kalaupun bisa selamat dan menyesuaikan diri dengan kondisi alam manusia, kelak dia harus terlahir di alam neraka jika batas kehidupan menemui mereka. Ya, harus terlahir ke alam bawah setelah mereka meninggal dunia. Sebuah alam yang mengerikan dan penuh penderitaan. Sebuah alam yang bertolak belakang dengan keadaan surga. Alam neraka adalah alam yang lebih dikuasai kesedihan daripada kebahagiaan, yang lebih dikuasai kebingungan daripada ketenangan. Dan dari alam itu, jika timbunan hasil perbuatan mereka menunjang, penuh berlimpah kebajikan, mereka bisa terlahir di alam surga kembali. Atau, jika timbunan kebajikan mereka sangat bagus, mereka bisa terlahir di alam manusia. Walaupun begitu, sesekali ada juga para dewa yang nekat berkunjung ke alam manusia. Mereka ingin sedikit bermain-main di alam istimewa ini.
Seperti pagi itu, seleret pelangi memancar di angkasa. Tak ada yang istimewa sebenarnya dari bentangan tujuh warna indah itu. Tak ada yang aneh dan unik. Namun, tidaklah begitu bagi yang awas mata batinnya. Di balik bentangan selendang surgawi itu, tampak beberapa tubuh tengah terbang di antara geraian cahaya pelangi. Tubuh-tubuh itu bergerak lambat, melayang meniti bias cahaya yang menjuntai ke bumi. Semakin mereka mendekat ke bumi, menuju alam manusia, semakin jelas terlihat wujud-wujud mereka. Tujuh wanita bertubuh ramping dan indah, tujuh makhluk penghuni surga paling bawah, tampak bergerak terus ke bumi. Kerlip mahkota yang mereka kenakan sesekali tertimpa cahaya mentari, cahaya yang terpancarkan ke dimensi alam manusia. Ini menunjukkan, tubuh-tubuh mereka mulai memadat, menyesuaikan dengan kondisi alam manusia untuk sementara waktu, walaupun tetap tak kasatmata bagi kebanyakan manusia.
Tujuh bidadari itu mendarat di bebatuan cadas besar yang bertebaran di pinggiran sendang di tengah hutan lebat. Satu per satu mereka menapakkan kaki di bebatuan. Yang sudah lebih dahulu mendarat tampak berseri-seri wajahnya, penuh ketakjuban melihat ke sekeliling. Sekarang mereka telah menginjakkan kaki di sini, di bumi, tempat yang istimewa ini. Mereka memilih tempat terpencil di tengah hutan belantara. Mereka semua tampak gembira dan takjub.
Tak ada satu pun cela dari wajah dan bentuk tubuh mereka. Tujuh makhluk surgawi ini sungguh sempurna. Wajah mereka yang cantik, dengan rambut panjang sepundak serta tubuh ramping yang begitu indah, membuat siapa saja yang mampu melihat perwujudan mereka akan mengira semuanya sama.
Salah satu di antara mereka terlihat berjongkok dari tempat mereka berdiri barusan. Tangan kanannya diulurkan untuk menyentuh air sendang yang terlihat sangat jernih. Begitu telapak tangannya menyentuh cairan bumi, tampak dia menikmati sensasi air yang ada di bumi, lantas tangannya bermain-main, mencakup air, memercik-mercikkannya. Mula-mula hanya percikan kecil, namun lama-lama, dengan girangnya dia menyiramkan air jernih itu ke tubuh teman-temannya. Tawa riang keluar dari mulutnya, disusul kemudian jeritan senang karena dirinya dibalas dengan percikan serupa oleh temannya. Tak lama kemudian, seorang dari mereka terbang rendah, telapak kakinya menapak air, seolah berdiri di atasnya, tubuhnya berputar perlahan. Kedua tangannya terentang ke samping, kepalanya mendongak ke angkasa dengan mata terpejam, rambut ikalnya tergerai. Dia tengah mereguk dan menikmati keindahan bumi, alam manusia ini.
Seorang lagi melesat lambat sambil membawa air dengan kedua tangannya yang dicakupkan, terbang mendekati salah satu temannya dan menjatuhkan cakupan air itu ke tubuh temannya. Yang mendapat siraman air menjerit, kemudian ikut terbang untuk mengambil air dengan cakupan tangannya. Dia mencoba mengejar yang barusan menyiram tubuhnya. Yang dikejar tertawa sembari terbang rendah, berputar-putar di atas sendang. Mereka pun terbang rendah berkejaran dengan tertawa-tawa.
Melihat kedua temannya berkejaran, keempat yang lain tak tinggal diam. Mereka pun segera terbang ke arah air, mencoba mencungkupkan kedua tangan untuk mengambil air jernih dan menyiramkan ke tubuh temannya. Yang kedahuluan terkena cipratan menjerit dan cepat membalasnya.
Tawa bercampur jeritan senang terdengar di sendang tengah hutan itu. Tubuh-tubuh semampai yang saling kejar tampak melayang di atas sendang, berputar-putar. Riuh rendah suara mereka menggema memenuhi segenap penjuru. Bagi telinga manusia biasa, semua itu hanya akan terdengar seperti suara angin yang bersiut-siut pelan. Kadang juga akan terdengar mirip suara cekikikan samar. Bagi manusia yang waspada batinnya, jelas dia akan peka dan sadar bahwa di daerah itu tengah tergelar kejadian yang menakjubkan.
Tak lama kemudian, salah satu makhluk surgawi itu mendarat, kemudian melepas busananya satu demi satu. Kini dia telanjang bulat! Sungguh luar biasa bentuk tubuhnya, tak ada cela sedikit pun. Kulitnya mulus dan bersih. Lalu ia terjun ke sendang. Tubuhnya langsung menyatu dengan air. Dia pun berenang dengan riang. Melihat hal itu, bergilir teman-temannya yang lain mendarat. Satu per satu mereka melepas busananya. Kemudian, dengan tubuh telanjang, mereka ikut menyusul temannya yang sudah bermain-main, berenang ke sana-kemari dalam limpahan air jernih yang menyegarkan. Kembali suara tawa terdengar di antara mereka. Begitu polos dan lugunya mereka, sepolos tubuh mereka yang tak lagi dibalut sehelai benang pun.
Keriangan dan keceriaan mereka membuat mereka lengah. Mereka tak menyadari jika di balik semak-semak, sepasang mata tengah mengamati. Sepasang mata yang takjub melihat pemandangan ajaib yang tergelar di depannya. Tak sekali pun mata itu berkedip. Semenjak tadi, si pemilik mata menikmati tubuh-tubuh indah beterbangan di atas sendang. Beterbangan dengan mudah dan entengnya, bagaikan seekor burung yang melayang-layang. Sulit untuk mempercayai apa yang terpampang di depan matanya. Namun demikian, otaknya akhirnya menerima juga bahwa apa yang terlihat di depannya adalah sesuatu yang nyata.
Pada awalnya, dia tengah berusaha mengejar seekor burung perkutut yang berpindah-pindah tempat bertengger. Sayup-sayup dia mendengar suara cekikikan diselingi jerit riang. Suara asing yang berasal dari sendang. Bergegas dia menghampiri sumber suara. Telinganya, yang sedari tadi menangkap jerit riang dan cekikikan samar, kini semakin lama semakin menangkap bentuk suara yang jelas. Mengendap-endap, dia menuju sumber suara. Dan dari balik semak-semak liar, dia begitu takjub melihat tujuh wanita yang tengah melayang-layang dan saling kejar. Lama baru dia bisa mempercayai bahwa pemandangan yang ditangkap matanya adalah nyata.
Hatinya bertanya-tanya, siapakah makhluk-makhluk cantik itu? Makhluk halus dari alam mana yang sungguh berani memasuki dimensi alam manusia sedemikian rupa? Keberanian atau kecerobohan? Walaupun dia belum mendapatkan jawaban, namun matanya terus mengamati pemandangan menakjubkan di depannya.
Dan, betapa berdesir darahnya manakala dia melihat seorang dari mereka mendarat, melepaskan busananya satu per satu, memampang tubuh telanjangnya yang aduhai. Tak sadar, sang pemilik mata menelan ludah. Pertunjukan keindahan tak berhenti sampai di situ, keenam wanita yang lain ternyata berbuat hal yang sama. Sungguh suatu pemandangan luar biasa baginya. Dia tak kuasa memalingkan pandangannya. Kini, dilihatnya tujuh wanita cantik itu berenang ke sana-kemari, berkejaran dengan riangnya. Sang pemilik mata itu sesak napasnya. Dadanya terus berdebar, dan kini bertambah kencang. Naluri lelakinya pun, mau tak mau, terbangkitkan.
Di tengah kecamuk perasaan yang hebat itu, mendadak tebersit pikiran liar di benaknya. Matanya nyalang mengawasi busana para wanita yang terserak di beberapa tempat. Dan matanya tertumbuk pada busana yang letaknya lebih ke pinggir. Dadanya berdebar kencang. Debar berahi lelaki yang memicu pikiran liarnya. Dilihatnya para wanita yang masih asyik saling kejar. Sesaat dia ragu, namun dorongan berahinya membuatnya bergerak mengendap. Didekatinya tumpukan busana yang terletak paling pinggir. Debar di dadanya semakin kencang. Setelah yakin keadaannya aman, dengan berjongkok dia berjalan ke arah busana yang terletak dua tombak di depannya, lalu meraihnya. Ada hawa aneh, hawa sejuk yang menempel di telapak tangannya. Sesaat dia merasa terkejut saat busana itu telah berada dalam genggamannya, namun waktu tak mengizinkan dirinya untuk berlama-lama. Cepat dia meraih busana itu, kemudian perlahan kembali ke tempatnya bersembunyi.
Banyak semak dan tumbuhan perdu di sana, sehingga sangat membantunya untuk bersembunyi. Di tempat persembunyian, dengan dada yang masih berdebar tak karuan, diamatinya busana aneh yang ada di dalam genggamannya. Terlihat sangat lain! Terasa hawa sejuk memancar dari sana, yang belum pernah dirasakannya pada bahan kain yang lain. Tenunannya sangat halus, corak warnanya lembut tapi indah. Sedikit mirip busana para putri kerajaan, namun bahan dan buatannya jauh lebih bagus. Yang pasti, ini bukan buatan tangan manusia.
Pemuda itu beringsut, perlahan meninggalkan tempat semula. Setelah berjarak sekitar dua puluh tombak dari sendang, setelah sedemikian banyak pohon besar melindungi tubuhnya, dia berbalik arah, lalu setengah berlari menyusuri jalan setapak yang membelah hutan lebat itu.
Tujuh makhluk surgawi itu masih larut dalam kegembiraannya. Di antara mereka kini ada yang telah mentas dari air, lantas menengkurap di permukaan batu cadas yang cukup luas. Tubuh indahnya begitu jelas terlihat, terpampang sedemikian sempurna tanpa sehelai benang pun, menambah keindahan suasana.
Waktu bergulir tanpa terasa. Matahari semakin condong ke barat. Salah seorang wanita yang masih berada di dalam air mendadak memekik. Sebuah pekikan yang aneh. Terlihat dia berbicara, entah apa yang diucapkannya. Bahasa yang keluar dari mulutnya terdengar sangat asing, dengan suara yang sedikit mendengung dan lirih. Beberapa temannya mulai tersadar tentang batas waktu. Mereka menatap ke angkasa, lalu bergegas mentas dari air, menuju ke arah busana masing-masing dan mulai mengenakannya kembali.
Di tengah kesibukan mereka mengenakan busana, ada seorang yang tampak kebingungan. Dia tengah mencari-cari sesuatu. Dan kebingungannya menarik perhatian semua temannya. Segera mereka berkumpul mengerumuninya. Mereka lalu memekik, terkejut ketakutan. Suasana langsung berubah. Dengan bahasa yang aneh, mereka lalu berdebat. Perdebatan tak berlangsung lama sebab dua dari mereka melayang ke angkasa dengan tergesa-gesa. Empat dari mereka masih termangu, tak tega melihat temannya yang kehilangan busana, namun akhirnya tiga orang dari mereka pun melayang menyusul temannya yang lebih dahulu terbang.
Kini tinggal dua orang yang tertinggal di tepi sendang itu. Yang seorang telah rapi berbusana dan siap terbang, namun yang seorang lagi masih telanjang bulat, duduk memeluk lutut, menyembunyikan payudara dan kelaminnya. Ada keraguan dari yang sudah mengenakan busana untuk terbang, tetapi mau tak mau dia pun harus terbang menyusul temannya yang lain sembari mengamati temannya yang tertinggal di bumi tanpa busana.
Kini, suasana sendang, yang semula ramai dengan tawa canda, berubah lengang. Sunyi dan senyap. Tempat itu baru saja dipenuhi wanita-wanita cantik yang berkejaran. Kini yang ada hanya sosok tubuh yang terpaksa ditinggalkan oleh teman-temannya, ditemani kesenyapan yang meraja. Sosok telanjang bulat itu masih duduk memeluk lutut. Wajahnya tertunduk. Terdengar isak tangis yang tertahan darinya. Makhluk surgawi itu menangis. Tangisannya hanya ditemani kesunyian. Wajah cantiknya menengadah, menatap angkasa. Dari mulutnya terdengar desisan halus, kemudian dalam Bahasa Sanskerta yang jelas, dia berkata:
“Wahai makhluk bumi, siapa pun kamu yang bisa menolongku, atau setidaknya memberikan pakaian untukku yang telanjang ini, kalau wanita maka akan kujadikan saudara, dan kalau lelaki maka akan kupasrahkan jiwa ragaku kepadamu.”
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=496727806975
0 komentar:
Posting Komentar