Tu Fu atau Du Fu |
Wilson Tjandinagara dan Abdul Hadi W. M.
Han Hong
MEMBALAS SAJAK CHENG JIN”
Pohon bambu tinggi berayun-ayun
dialah yang paling duluan menyambut angin barat,
sekujur kota lama yang senyap
ditaburi sinar bulan pucat,
seekor angsa liar
seolah terbang menuju gugusan bimasakti
malam ini, suara-suara orang mencuci kain
terdengar di antara ribuan penghuni kota
kuingat waktunya
kala itu malam sudah larut
namun karena merenungi sajakmu dalam hati
aku tak bisa tidur untuk beristirahat
Ah,
baru saja kubaca
bait-bait sajakmu yang indah
sedangkan hari sudah terang
burung gagak memekik parau di luar jendela
Liu Shen Xu
TANPA JUDUL
Jalan pegunungan tinggi mendaki
berakhir di pucuk awan
O pemandangan musim semi
panjangnya laik anak sungai bening
kerap saja
ada guguran bunga jatuh melayang-layang
kemudian bersama air sungai mengalir
membawa bau semerbak ke tampat jauh.
Pintu tak terkunci itu
menghadap jalan setapak pegunungan
pohon yangliu yang naung rimbun
masing-masing menghiasi ruang baca di pondok
walaupun langit siang hari panas benderang
di sini semua begitu tenteram
cahaya indah dan kesunyian
menerobos naungan pohon, menyinari bajuku.
Dai Shu Lun
DI SEBUAH LOSMEN DENGAN KAWAN LAMA
Datang musim gugur
bulan bersinar, bulat penuh
O, pemandangan malam di ibukota
membangkitkan gejolak jiwa
tak terduga aku masih dapat
mengadakan majlis paguyuban orang-orang dari selatan Yangse
pun sukar dipercaya
apakah pertemuan ini hanya dalam mimpi.
Ranting pohon berayun ditiup angin
mengejutkan burung murai dalam kegelapan,
rerumputan musim gugur sarat tetesan embun
melindungi serangga musim gugur yang nyaring bernyanyi
perasaan pengembara
selalu menjunjung tinggi minum tuak hingga mabuk,
ingin sekali aku menahan kalian minum sepuas-puasnya
namun seketika cemas mendengar suara lonceng tua
mengabarkan fajar telah menyingsing
Sikong Shu
PERPISAHAN DENGAN HAN SHEN DI POS YUN YANG GUAN
SETELAH MENGINAP SEMALAM
Sejak berpisah denganmu
di Jianghai
beberapa tahun terakhir ini
kita dipisah gunung dan sungai,
kini tiba-tiba bertemu
malah curiga ini hanya mimpi,
O.
semua merasa pilu
setelah masing-masing menanyakan usia
Lampu satu-satunya
menyinari hujan di tengah kesunyian di luar jendela,
hutan rumpun bambu membisu
diam-diam mengambangkan gugusan awan,
yang amat disesalkan ialah –
esok kita akan berpisah, engkau utara aku selatan,
gelas diangkat demi perpisahan
kita muliakan panjangnya usia persahabatan kita.
Sikong Shu
GEMBIRA SEPUPU LU LUN DATANG MENGINAP
Malam begitu lengang
tak seorang pun tetangga di sekitar rumah ini
kupilih tinggal di belantara liar
semata karena miskin,
dalam terpaan angin dan kucuran hujan
daun-daun menguning di pepohonan,
satu-satunya lampu
menerangi aku si tua bangka beruban.
O, tentang aku
aku hanya sendiri, begitu lama terperosok
kau yang sering mengunjungiku
membuat aku malu, pun terharu atas kepedulianmu.
O,
bemang jika dua penyair saling bersahabat
boleh dikata sudah dinasibkan untuk bertemu
apalagi
kita masih saudara sepupu –
bagai dua keluarga: Cai dan Yang!
Sikong Shu
MENGANTAR ORANG KEMBALI KE UTARA SETELAH
PEMBERONTAKAN DITUMPAS
Tahun-tahun yang morat-marit
kita ke selatan bersama
kini negeri tenang
namun kau malah kembali ke utara sendirian
mengungsi ke kampung orang
uban telah lama tumbuh di kepala,
ketika tiba di kampung halaman
menjumpai yang tak berubah hanya deretan gunung hijau itu.
pagi hari, bersama bulan
melewati reruntuhan bangunan dan kubu tua,
bintang bertaburan di langit,
kau menumpang tidur di Guguan yang tandus.
O,
unggas di musim dingin
dan rumput liar layu,
semua tempat yang dilalui
menemani rona wajahnya yang selalu murung.
Bai Juyi
RUMPUT
Betapa rimbun
kau rumput liar di tanah purba ini,
setiap satu tahun berlalu
bergiliran antara layu dan subur menghijau
api yang membara di padang belantara
tak mungkin membakarmu sampai habis
kala angin musim semi bertiup
kau berjuang keras untuk tumbuh kembali
Ya rumput wangi jauh di penghujung bumi
kau terus tumbuh memenuhi lorong tua depan mata
hijau tak bertepi di bawah sinar matahari,
mendekatkan benteng tua yang terhantar sunyi di sana
rapuh dan hampir runtuh.
demi aku kau mau bertungkus lumus
mengantar seorang kawan pergi
rumput musim semi begitu rimbun
seakan diharu biru kepiluan perpisahan.
Du Mu
MENGINAP DALAM PERJALANAN
Di rumah penginapan
tak seorang kawan karib,
tafakur memusatkan pikiran
adalah derita diliputi kesunyian tanpa tepi,
sendiri menatap lampu dingin
lantas ingat perkara lama beberapa waktu yang lalu
jerit angsa liar yang terpisah dari kawannya
membangunkan aku yang dalam tidur pun masih waswas
Dalam tidur mimpi berjalan sampai kampung halaman
ketika kembali fajar sudah tiba
sepucuk surat dari rumah
sudah diterima lebih setahun lalu
O,
baiknya pulang
menatap sinar bulan, betapa indah
terbungkus kabut di sungai Changjiang
sedangkan perahu kecil pengail ikan
ditambatkan tepat di depan rumahku
Xu Hun
AWAL MUSIM GUGUR
Di musim gugur yang panjang
mengalun lembut suara Jinse, merdu di telinga
O, angin barat tak henti-hentinya bertiup
mempermainkan daun-daun songlo hijau tua
sisa kunang-kunang hinggap ==
di atas titik embun rumputan,
kawanan angsa liar terbang subuh
melintasi gugusan bimasakti tiada tepi
Pohon-pohon menjulang tinggi
ketika memandangnya di pagi hari, ranting dan daunnya
masih rimbun
punggung-punggung gunung di kejauhan
di bawah langit terang, kelihatan lebih banyak
O,
di Huainan ini
selembar daun layu, rontok diam-diam
aku pun teringat –
gelombang air pasang danau Dongtong Hu!
Li Shangyin
TONGGERET
Sesungguhnya bertengger di pucuk pohon tinggi
sukar bisa kenyang
mengerik pun
sia-sia menyampaikan keluh ketidakadilan
hingga menjelang fajar
suaranya pun kian lemah dan jarang, seolah tersekat,
paadahal pohon tua hijau itu
masih tetap tak terharu.
jabatan kecil lagi sepele
seakan tangkai buah persik meluncur di air,
tanah air dan kampung halaman serba terlantar
ditumbuhi pula semak-semak berduri.
bikin repot
berulang kali kuingatkan kau
aku pun akan seperti kau
sekuat tenaga menjunjung tinggi keluhuran tak tercemar
rela miskin dan sayu wajah anggota keluarga
Li Shangyin
BUNGA GUGUR
Para tamu paviliun di atas
telah pulang semua
kini
di taman kecil
beterbangan bunga-bunga, tak tentu arah
kelopak bertaburan
di jalan berliku
dari jauh
pandang mata melepas sisa cahaya matahari senja,
Karena kasihan bunga gugur
tak tega menyapunya
tak mudah pula mengharap musim semi
tak mengira pula akan kembali
O,
hatiku ini
telah sepenuhnya
bersama bunga gugur
yang didapat
hanya –
airmata membasahi baju.
Terjemahan Wilson Tjandinagara dan Abdul Hadi W. M.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=496628648872
0 komentar:
Posting Komentar