Penulis Melayu Klasik, Sumbangannya Bagi Sastra Indonesia #1


Prof. Abdul Hadi W. M.
Setelah memohon izin kepada Prof. Abdul Hadi W.M. untuk memuat catatan-catatan beliau melalui pesan via jejaring sosial yang sangat terkenal yaitu Facebook. Akhirnya, kami mendapatkan izin untuk memuat beberapa catatan-catatan beliau yang sangat syarat dengan ilmu dan pengetahuan. Hal ini dilakukan untuk berbagi pengetahuan kepada siapa saja, karena kita membutuhkan itu (ilmu dan pengetahuan).
Di bawah ini kami memuat catatan pertama dari beberapa catatan penting yang mesti kita pelajari. Kami memberi judul “Penulis Melayu Klasik, Sumbangannya Bagi Sastra Indonesia #1”. Ada banyak ilmu pengetahuan di situ. Jadi, jangan sampai terlewatkan untuk membacanya kawan.
Silahkan….

Oleh Abdul Hadi W. M.

Babakan penting dalam sejarah sastra Melayu Nusantara mengambil waktu pada peralihan abad ke-16 – 17 M. Pada masa ini bahasa Melayu telah mantap kedudukannya sebagai bahasa pergaulan utama di kepulauan Nusantara baik di bidang perdagangan maupun di bidang intelektual-keagamaan dan kebudayaan. Mantapnya kedudukan tersebut diperoleh karena penyebaran agama Islam yang telah marak sejak abad ke-13 M. Orang-orang Islam yang berpengaruh di bidang perdagangan, politik dan kegiatan intelektual menggunakan bahasa Melayu sebagai media utama bagi penyampaian ajaran agama, ilmu-ilmu keagamaan dan falsafah (al-Attas 1970; Bragnsky 1992; Abdul Hadi W. M. 2001) Melalui cara yang demikian itu bahasa Melayu diperkaya dengan kosakata dan istilah-istilah Arab dan Persia, yang pada abad ke-13 – 15 M merupakan bahasa intelektual dan keilmuan yang penting di dunia.
Cepatnya perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa pergaulan utama di bidang perdagangan dan intelektual bisa terjadi karena pusat-pusat utama penyebaran agama Islam seperti Samudra Pasai (1272-1450), Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700) merupakan kota-kota dagang dan pelabuhan utama di Selat Malaka. Di kota-kota inilah kapal-kapal asing singgah untuk mengambil barang dagangan, sehingga dengan cepatnya pula kota-kota ini maju dan makmur, yang dengan demikian mudah pula berkembang menjadi pusat kegiatan intelektual dan kebudayaan. Ketiga kerajaan ini pula sejak lama penduduknya menggunakan bahasa Melayu yang diwarisi dari pendahulunya yaitu kerajaan Sriwijaya (Collin 1992; Azyumardi Azra 1995:22-55; Ibrahim Alfian 1999:53).
Pada awal abad ke-16 M dengan ditalukkannya Malaka oleh Portugis (1511) serta merta kegiatan penulisan sastra Melayu mandeg untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi tidak lama kemudian, pada tahun 1516 M, sebuah kerajaan Islam lain yaitu Aceh Darussalam muncul tidak jauh dari bekas tapak kerajaan Samudra Pasai. Dengan munculnya Aceh kegiatan penulisan kitab keagamaan dan sastra Melayu berkembang pesat. Karya-karya Melayu yang ditulis di Pasai dan Malaka disalin kembali dalam jumlah besar. Majunya perkembangan penulisan kitab itu terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ala’uddin Riayat Syah (1589-1604) dan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Taufik Abdullah (2003) menyebutkan pada periode ini terjadi gelombang kedua dalam sejarah intelektual Islam di Nusantara.
Gelombang pertama mengambil masa pada abad ke-14-16 M, yaitu sejak munculnya Samudra Pasai hingga berkembangnya Malaka dan Aceh. Pada periode yang sangat gencar dilakukan ialah pengenalan asas-asas kosmopolitan dari ajaran Islam. Karya-karya Arab dan Persia disadur dalam jumlah besar ke dalam bahasa Melayu, dan dengan demikian Islam hadir sebagai realitas dunia baru dalam pikiran bangsa-bangsa Nusantara. Dalam gelombang kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran. Islam dipakai sevagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Karya-karya dari aman Hindu Buddha disadur dan ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam. Zaman ini menandakan berakhirnya zaman peralihan dari tradisi Hindu-Budhha ke tradisi Islam, dan bermulanya penulisan karya-karya yang benar-benar bercorak Islam baik secara estetik maupun isi yang dikandungnya. Realitas yang ditampilkan adalah realitas yang hidup dalam masyarakat dan kebudayaan Melayu Nusantara yang telah berhasil diislamkan.
Memang akhir masa peralihan ini tidak dapat dibatasi dengan jelas, karena karya-karya zaman peralihan – seperti saduran karya-karya Arab dan Parsi dan gubahan dari karya-karya zaman Hindu yang telah diislamkan – masih terus disalin dan digubah dalam sastra Melayu, bahkan dalam sastra Nusantara lain seperti Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Aceh, Bugis Makassar dan lain-lain. Tetapi proses islamisasi benar-benar telah dijalankan pada abad ke-16 dan 17 itu.
Dua gejala dominan, yang saling berkaitan muncul pada masa ini, yaitu di satu pihak kecenderungan untuk memusatkan diri pada renungan-renungan tasawuf yang mendalam dan personal dalam ikhtiar menjawab masalah hubungan manusia dengan Yang Abadi; dan di pihak lain ikhtiar untuk membangun tatanan kehidupan sosial politik berdasarkan cara pandang Islam, yang dengan itu sebuah kehidupan masyarakat religius dan beradab dapat diselenggarkan. Kecenderungan kedua ini memunculkan hasrat menyusun etika politik dan teori pemerintahan yang ideal, yang dengan itu kesadaran bersama dan solidaritas kemasyarakatan dapat direalisasikan.
Pada masa inilah muncul tokoh besar di bidang penulisan sastra keagamaan dan adab seperti tampak pada Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai atau Syamsudin Sumatrani dan Bukhari al-Jauhari. Walaupun beberapa sarjana Eropah seperti Overbeck (1920), Windstedt (1920) dan lain-lain memandang sebelah mata terhadap keaslian dan relevansi karya para penulis itu, tidak sedikit sarjana mutakhir, misalnya al-Attas (1970), Brakel (1979), Braginsky (1992), Teeuw (1994) dan lain-lain memandang lebih arif. Malahan mereka dapat menunjukkan relevansi serta sumbangan besar penulis-penulis klasik itu bagi perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan. Menurut Braginsky, hasil-hasil sastra Melayu Islam sangat penting, karena ia telah memainkan peranannya sebagai fundasi utama kebudayaan Melayu Nusantara, yaitu kebudayaan Indonesia dan Malaysia, dan berperan besar pula sebagai penyebar gagasan dan pandangan dunia yang relevan sampai abad ini.
Kebaruan karya para penulis abad ke-16 dan 17 itu ialah pertama-tama, terletak pada keberanian pengarang untuk mengekspresikan pengalaman dan pengetahuan pribadinya. Ini dimungkinkan karena mereka berkarya berdasarkan estetika sufi dan ilmu tasawuf. Dalam kenyataan pengalaman rohani dalam tasawuf hanya bisa diperoleh secara personal, namun demikian pengalaman itu bisa dibagi kepada orang lain, terutama mereka yang sejalan dalam kehidupan rohani dan keagamaan. Karya-karya penulis sufi seperti Hamzah Fansuri dan murid-muridnya mereka juga mengungkapkan bahwa manusia, selaku hamba dan khalifah Tuhan di dunia memiliki kedudukan setara di hadapan Tuhan di hadapan Tuhan dan hukum ilahi.
Demikianlah yang mereka ajarkan pertama-tama ialah pentingnya individualitas dan tanggungjawab pribadi dalam menjalankan kehidupan keagamaan dan sosial. Mereka juga mengajarkan semangat persaudaraan dan egaliter. Kecuali itu dengan memandang manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi maka berarti mereka telah menempatkan manusia sebagai pusat dan penggerak utama perputaran peristiwa di dunia. Sebagai khalifah Tuhan mereka memiliki freewill dan harus menjalani kehidupan berdasarkan freewill atau ikhtiar pribadinya.
Mengenai pandangan dunia (worldview) yang mendasar karya para penulis sufi Melayu itu, Braginsky (1992) mengatakan bahwa karya-karya itu, dalam batas tertentu, berhasil menyadarkan pembaca Nusantara tentang betapa pentingnya budaya membaca dan menulis bagi perkembangan dan kelangsungan peradaban. Arti penting lain ialah karena sampai abad ke-19, karya-karya tersebut menjadi teladan dan dijadikan sumber ilham bagi penulisan karya sejenis dalam berbagai bahasa Nusantara lain seperti Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Minangkabau, Bugis Makasar, Banjar dan lain-lain. Malahan beberapa gagasan penting mereka, termasuk wawasan estetiknya, dilanjutkan oleh beberapa penulis abad ke-20 dengan memberinya cita rasa modern.
Peranan Penulis dan Fungsi Sastra
Karya-karya penulis Melayu klasik, yang dihasilkan sejak akhir abad ke-16 sampai menjelang akhir abad ke-19, amat berlimpah dan aneka ragam jenis dan coraknya. Sesuai jenisnya karya-karya tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Hikayat Nabi Muhammad s.a.w.; (2) Hikayat Nabi-nabi sebelum Rasulullah; (3) Hikayat Para Sahabat Nabi; (4) Hikayat Orang-orang Saleh dan Suci; (5) Hikayat Pahlawan-pahlawan Islam; (6) Karangan bercorak Tasawuf; (7) Karangan bercorak kesejarahan; (8) Sastra Adab; (9) Cerita Berbingkai, termasuk kisah binatang; (10) Syair Rampai; (11) Cerita Jenaka; (12) Pelipur lara dan lain-lain.
Masing-masing jenis dari hikayat ini mempunyai ciri dan fungsi tersendiri, dan sumber penulisannya juga berbeda-beda. Hikayat Nabi Muhammad s.a.w misalnya bersumber pada sejarah kehidupan Nabi Muhammad dari sumber-sumber paling awal, termasuk kesaksian kerabat dekat dan sahaba-sahabat Nabi yang mengikuti perjuangannya menyebarkan agama Islam sejak awal. Khususnya seperti yang dikumpulkan oleh al-Tabari pada abad ke-8 M dalam kitabnya Sirah Nabi Muhammad. Hikayat Nabi-nabi sebelum Rasulullah misalnya ditulis berdasarkan sumber-sumber al-Qur’an, dilengkapi dengan kisah-kisah yang telah lama dikenal bangsa Arab dan Ibrani melalui Taurat, Zabur dan Injil. Kisah berhubungan dengan asal-usul kerohanian Nabi Muhammad yang diramu berdasarkan konsep kosmologi sufi ialah Hikayat Kejadian Nur Muhamad.
Hikayat Para Sahabat Nabi benar-benar didasarkan atas sumber sejarah, sebagaimana juga sejarah orang-orang saleh dan suci atau para wali. Hikayat pahlawan-pahlawan Islam digubah berdasar sumber sejarah dan kisah-kisah lain yang bercorak fiksi. Sastra Adab adalah disusun berdasarkan sumber yang beragam seperti al-Qur`an, Hadis, Tarikh, Cerita Rakyat dan kitab-kitab keagamaan seperti fiqih, kalam, tasawuf dan siyas (politik). Yang benar-benar bercorak fiksi ialah cerita berbingkai dan pelipur lara. Berdasarkan sumbernya saja dengan segera kita akan melihat betapa karya-karya tersebut benar-benar bercorak Islam, sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa sastra Islam itu tidak ada. Pesan moral, kerohanian dan keagamaan yang disajikan karya-karya ini juga berkaitan dengan ajaran Islam yang ditemui dalam tafsir al-Qur’an, kitab syariah dan tasawuf.
Braginsky (1993) mengelompokkan karya-karya Melayu warisan peradaban Islam menjadi tiga berdasar peringkat wilayah atau lapisan garapannya: (1) Karya yang menggarap lapis Kesempurnaan dan Estetika Batin; (2) Karya yang menggarap lapis Faedah dan Hikmah; (3) Karya yang menggarap lapis Hiburan dan Estetika Zahir.
(1). Karya-karya yang menggarap sfera kesempurnaan (kamal), menggambarkan upaya manusia mencapai pengetahuan tertinggi (ma`rifat), jalan kerohanian (suluk), bentuk pengalaman dan keadaan rohani (maqam dan ahwal) yang diperoleh seorang penempuh jalan rohani (salik) dan lain sebagainya. Karya-karya yang menggarap sfera kesempurnaan jiwa ini juga menggambarkan cita-cita manusia mencapai pribadi insan kamil meneladani Nabi Muhammad s.a.w., kerinduan seorang `asyik (pencinta) kepada Sang Kekasih (mahbub), yaitu Yang Satu. Dalam karya kategori ini dipaparkan juga jalan pengenalan diri, yang amat penting bagi seorang Muslim untuk mengenal perannya sebagai khalifah Tuhan di atas dunia dan sekaligus hamba-Nya. Termasuk dalam kategori ini ialah syair-syair Tasawuf yang sering dikenal sebagai Syair Tauhid dan Makrifat.
Selain ditulis dalam bentuk puisi didaktis dan imaginatif simbolik, juga ada yang ditulis dalam bentuk kisah perumpamaan. Karya-karya Hamzah Fansuri dan murid-muridnya seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Syamsudin Pasai, dan juga beberapa karangan Abdul Rauf Singkel dan lain-lain termasuk dalam kategori ini. Kecuali karya tiga penulis ini terdapat karya ahli tasawuf lain yang namanya belum diketahui. Di antaranya Syair Perahu (dalam tiga versi yang berbeda), Ikat-ikatan Bahr al-Nisa' (Lautan Perempuan), Syair Dagang (yang agaknya ditulis penyair asal Minangkabau), Hikayat Burung Pingai, Syair Alif dan lain-lain.
Di samping itu para sufi amat produktif menulis risalah tasawuf dan interpretasi teks dalam bahasa sastra yang tinggi dengan pengetahuan yang dalam. Di antara penulis risalah tasawuf dan ta'wil (hermeneutika sufi) yang terkenal ialah Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, Nuruddin Raniri, Abdul Rauf Singkili, Yusuf Mengkasari, Daud Fatani, Abdul Samad Palimbangi, Ki Fakhrudin Palimbangi, Arsyad Banjari, Daud Pontiani dan lain-lain. Selain karya bercorak sejarah dan hikayat-hikayat tertentu, karangan-karangan ahli tasawuf ini sangat menarik perhatian pengkaji.
Menurut Braginsky (1993) karya-karya yang termasuk ke dalam kategori ini mempunyai tujuan menyucikan kalbu dan jiwa manusia, karena kalbulah yang merupakan sarana penghayatan intuitif terhadap keberadaan Yang Haq dan Yang Satu. Keindahan yang dipaparkan dalam karya-karya katagori ini ialah keindahan tersirat atau keindahan batin.
(2). Karya-karya yang mengungkap sfera faedah. Termasuk Hikayat Nabi dan para sahabatnya, Hikayat Pahlawan Islam, serta karya kesejarahan dan adab. Karya katagori ini bermaksud memperkuat dan menyempurnakan akal manusia, yaitu sarana intelektualnya, dengan membeberkan kisah-kisah yang mengandung hikmah dan pengajaran. Di antara karya termasuk sastra adab yang terkenal ialah Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) karya Bukhari Jauhari dan Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja) karya Nuruddin Raniri dan Nasih Luqman al-Hakim (anonim). Karya-karya ini menjadi cermin pengajaran dan tuntunan bagi raja-raja, pegawai pemerintahan dan pemimpin masyarakat dalam menjalankan pemerintahan agar tercapai keadilan dan kesejahteraan sosial, dan dengan demikian agama berkembang. Sedangkan karya bercorak sejarah menggambarkan jatuh bangunnya raja-raja dan dinasti, sebab-sebab kejatuhan dan kebangunannya, peristiwa-peristiwa penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dan jalannya sejarah.
Karya bercorak sejarah ada yang ditulis dalam bentuk syair dan ada yang ditulis dalam bentuk prosa. Bustan al-Salatin merupakan karya bercorak sejarah dan adab. Karya bercorak sejarah lain yang terkenal ialah Hikayat Aceh (anonim), Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang dan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Jumlah karya bercorak sejarah sangat banyak. Selain yang telah disebut, karya kesejarahan lain yang masyhur ialah Hikayat Pasai, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Banjar, Misa Melayu, Hikayat Johor, Hikayat Maulana Hasanuddin, Hikayat Patani, Sejarah Raja-raja Riau, Salasilah Melayu dan Bugis Salasilah Kutai, Hikayat Bengkulu dan lain-lain. Di Jawa genre serupa disebut babad seperti Babad Tanah Jawi, Babad Pasundan, Babad Giyanti, Babad Madura, Babad Besuki dan lain-lain. Di Minangkabau karya kesejarahan disebut tambo. Di antara yang masyhur ialah Tambo Minangkabau.
Karya bercorak sejarah yang ditulis dalam bentuk syair di antaranya ialah Syair Perang Mengkasar, Syair Sultan Maulana, Syair Moko-moko, Syair Sultan Zainal Abidin, Syair Perang Siak, Syair Pangeran Syarif Hasyim, Syair Singapura Terbakar, Syair Siti Zubaidah Perang dengan Cina, Syair Kompeni Walanda Perang dengan Cina dan lain-lain. Menurut Ali Ahmad (1991) karya bercorak sejarah yang disebut salasilah memiliki unit cerita yang terdiri dari kisah-kisah dan legenda, namun tidak seperti hikayat yang diikat oleh perkembangan tokohnya yang stereotype, karya kesejarahan diikat oleh perkembangan kejadian dan hikmah yang dikandung dalam kejadian tersebut. Krisis yang terjadi dalam sebuah negara, yang membuat jatuhnya sebuah dinasti atau seorang raja, selalu dicari sebabnya pada krisis moral dan akhlaq, serta penyimpangannya terhadap ajaran Islam, misalnya tidak dilaksanakannya keadilan dan raja tidak lagi taat pada undang-undang dan tidak berperan sebagai pelindung rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya.
Menurut Ali Ahmad lagi, munculnya karya kesejarahan dan hikayat yang bernaeka ragam itu, kian menjadikan kesusastraan Melayu tidak lagi streotaip, tetapi terbuka kepada berbagai-bagai kemungkinan. Ini menjadikan nilainya meningkat, dan pada saat yang sama memperkuat dasar keberadaannya, sebab ia menumpukan maknanya pada nilai Tauhid dan konsekwensi moralnya bagi mereka yang menghayati keluasan makna Tauhid. Juga karya-karya itu, serta penyebarannya yang luas, menggambarkan latar belakang tempat dan kebudayaan Melayu dengan jelasnya di mana Islam telah dihayati pada peringkat fikrah dan amalannya, dalam arti berkaitan dengan soal hubungan manusia dengan Tuhan dan berkaitan pula dengan soal hubungan manusia dengan sesamanya. Dengan demikian estetika yang ditonjolkan ialah estetika berkenaan hikmah atau Estetika Hikmah.
(3). Karya yang menggarap sfera hiburan dan estetika zahir (luaran), termasuk ke dalam jenis ini ialah Pelipur Lara. Tujuan karya seperti itu ialah menyerasikan kesan-kesan kejiwaan yang kacau disebabkan kobaran hawa nafsu, sebuah sarana penghayatan indrawi atau sensual manusia dalam menanggapi kehidupan.
Kesan-kesan kejiwaan yang kacau harus diserasikan dengan nilai moral dan ajaran agama, dan upaya ke arah itu dicapai melalui bantuan keindahan karya sastra yang memberikan semacam psikoterapi kepada jiwa, yaitu menghibur atau melipur. Karangan-karangan dalam kategori ini termasuk hikayat dan syair percintaan, kisah petualangan yang dibumbui kisah-kisah luar biasa atau ajaib. Kisah-kisah ajaib ini tidak dimaksudkan sebagai mitos, melainkan sebagai representasi pengalaman jiwa manusia yang ruang kejadiannya berlaku di alam misal atau alam imaginal.
Alam misal mempunyai tempat tersendiri dalam teori sastra dan estetika Islam, karena apa yang dialami seseorang dalam alam tersebut merupakan realitas yang menghubungkan pengalaman zahir dengan pengalaman transendental. Penyajian peristiwa di alam misal juga berfungsi sebagai pemaparan simbolik sebuah kisah, yang tidak lain merupakan kias perjalanan manusia dari alam rendah menuju alam tinggi. Perjalanan tersebut sering digambarkan sebagai perjalanan menuju puncak bukit atau gunung untuk menyucikan diri, yang sesudah itu sang tokoh hikayat turun kembali ke dunia nyata untuk memainkan perannya selaku khalifah Tuhan di atas dunia. Dalam hikayat yang tergolong pelipur lara tidak jarang penulis menyelipkan ajaran agama atau tasawuf. Misalnya sebagaimana nampak dalam Hikayat Syekh Mardan yang masyhur itu dan telah dikaji oleh beberapa sarjana.

(Bersambung ke Bagian II : Puisi dan Kesadaran Diri).

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Alamat Emailmu Di Sini:

Pengikut