PUISI SEBAGAI SULUK DALAM SASTRA MELAYU
Abdul Hadi W. M.
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah i’tiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
Perteguh jua alat perahumu
Hasilkan bekal air dan kayu
Dayung pengayuh taruh di situ
Supaya laju perahumu itu
...
La ilaha `illa Allah terlalu nyata
Tauhid makrifat semata-mata
Memandang yang gaib semuanya nyata
Lenyapkan ke sana sekalian kita
...
La ilaha `illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
La ilaha `illa Allah tempat musyahadah
Menyatakan tauhid jangan berubah
Sempurnakan jalan iman yang mudah
Pertemuan (dengan) Tuhan terlalu susah
(Doorenbos 1933:35)
Terimakasih.
Abdul Hadi W. M.
Salah satu fungsi puisi dalam estetika Melayu ialah sebagai suluk, yaitu
jalan keruhanian. Ini tampak dalam syair-syair makrifat dan tauhid,
atau syair-syair tasawuf seperti yang dikarang oleh Hamzah Fansuri dan
para pengikutnya di Sumatra pada abad ke-16 dan 17 M. Dalam kesusastraan
Jawa secara eksplisit karangan yang memaparkan ajaran dan pengalaman
ahli tasawuf dalam menempuh jalan keruhanian disebut suluk. Seperti
tujuan tasawuf, tujuan sastra suluk ialah memaparkan jalan keruhanian
para sufi untuk mencapai ”kesaksian bahwa tiada hakikat yang lebih
tinggi selain Yang Satu, Allah subhana wa ta`ala”. Dalam perjalanan itu
seorang ahli suluk mengalami keadaan-keadaan ruhani (hal) dan sampai pada tahapan ruhani (maqam) tertentu. Dalam Mantiq al-Tayr Fariduddin `Attar melukiskan tujuh maqam atau tahapan keruhanian itu sebagai berikut : talab (pencarian), `isyq (cinta), ma`rifa (makrifat), istighna (kedamaian), hayrat (ketakjuban), tauhid, dan terakhir – fana’, baqa dan faqir.
Untaian bait dalam Syair Perahu adalah contoh bagaimana puisi berperan sebagai jalan keruhanian dan kendaraan menuju tauhid.
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah i’tiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
Perteguh jua alat perahumu
Hasilkan bekal air dan kayu
Dayung pengayuh taruh di situ
Supaya laju perahumu itu
...
La ilaha `illa Allah terlalu nyata
Tauhid makrifat semata-mata
Memandang yang gaib semuanya nyata
Lenyapkan ke sana sekalian kita
...
La ilaha `illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
La ilaha `illa Allah tempat musyahadah
Menyatakan tauhid jangan berubah
Sempurnakan jalan iman yang mudah
Pertemuan (dengan) Tuhan terlalu susah
(Doorenbos 1933:35)
Dari syair ini dapat dicatat setidak-tidaknya: Pertama, puisi merupakan jalan berpindah ke alam ketuhanan atau transendental.Tujuan penyair ialah memandang yang gaib (musyahadah)
melalui jalan tauhid dan makrifat. Dengan demikian puisi dapat
dikatakan sebagai sarana transendensi atau pembebasan jiwa dari
kungkungan alam kebendaan (tajarrud). Kedua, puisi yang indah doitulis setelah penyair melakukan penyucian diri, yaitu membetulkan iktiqad. Ketiga, puisi juga merupakan perluasan zikir terhadap Allah (zikr Allah),
yang dengan cara demikian seseorang mencapai musyahadah.Makrifat dan
pencerahan kalbu adalah bentuk pengalaman estetis yang tinggi, yang
hanya dapat dicapai melalu jalan zikr Allah. Keempat, penyair
juga menyatakan bahwa keindahan wajah Tuhan dan hakikat Tauhid hanya
bisa diaksikan di ’medan yang qadim’, yaitu di alam metafisik atau
ketuhanan. Medan yang qadim dalam jiwa manusia mengambil tempat dalam
kalbu. Para sufi menyatakan bahwa kalbu merupakan rahasia Tuhan (sirr Allah)
dalam arti dalam kalbulah manusia bisa berdialog dengan Yang Maha Gaib.
Itulah sebabnya dalam proses penyucian diri, kalbu mesti dikosongkan
dari yang selain Tuhan. Kelima, penyair mengharap pembaca
menjadikan puisi sebagai tangga naik menuju hakikat dirinya yang sejati.
Perjalanan ruhani seorang ahli suluk di sini ditamsilkan sebagai
pelayaran perahu dan perlengkapannya, sedangkan perahu adalah tamsil
bagi tubuh manusia yang dibekali perlengkapan ruhani.
Terimakasih.